Dampak berkelanjutan PMK: Dari peternakan hingga pariwisata

Dampak Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak tidak hanya menyebabkan kerugian pada sektor peternakan, tetapi sampai ke pariwisata.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Belum usai wabah LSD (Lumpy Skin Disease) atau kerap disebut cacar sapi, industri ternak nasional kembali terpukul dengan adanya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menjalar pada sapi dan kerbau. Sejak terdeteksi pertama kali di Gresik pada 28 April 2022 lalu, wabah PMK kian meluas.

Dengan daya tular (morbiditas) yang mencapai 90%-100%, tak heran jika sampai Selasa (17/5) kemarin PMK telah menjangkiti sekitar 3,9 juta ternak yang terdiri dari sapi dan kerbau, di 52 kabupaten/kota. Secara rinci, berdasarkan data integrated Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS) Kementerian Pertanian, pada periode tersebut, tercatat ada 13.965 ekor ternak yang positif PMK.

Angka ini sama dengan 0,36% dari total populasi ternak yang ada di seluruh Indonesia, yakni sebanyak 13,81 juta ekor. Selanjutnya, 99 ekor ternak dilaporkan mati dan 2.630 ekor ternak sembuh setelah menjalani perawatan intensif. Sedangkan sisanya, berstatus suspect alias terindikasi akut semenjak menunjukkan gejala PMK. 

Agar tidak semakin meluas, para peternak di berbagai daerah pun terpaksa menghentikan lalu lintas ternak mereka. Micro lockdown atau penutupan daerah lantas menjadi pilihan. Gugus Tugas penanganan PMK misalnya, menerapkan penutupan wilayah bagi lalu lintas ternak di Aceh Barat mulai Selasa (17/5). 

Dengan adanya kebijakan ini, Gugus Tugas yang terdiri dari petugas kesehatan hewan (keswan), Polri dan TNI pun melarang total masuknya ternak dari luar daerah, meskipun memiliki surat resmi yang menjelaskan bahwa ternak yang mereka bawa dalam keadaan sehat dan bebas PMK. Pun bagi peternak lokal yang hendak memasok ke daerah lain.