sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dampak berkelanjutan PMK: Dari peternakan hingga pariwisata

Dampak Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak tidak hanya menyebabkan kerugian pada sektor peternakan, tetapi sampai ke pariwisata.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Minggu, 22 Mei 2022 06:15 WIB
Dampak berkelanjutan PMK: Dari peternakan hingga pariwisata

Belum usai wabah LSD (Lumpy Skin Disease) atau kerap disebut cacar sapi, industri ternak nasional kembali terpukul dengan adanya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menjalar pada sapi dan kerbau. Sejak terdeteksi pertama kali di Gresik pada 28 April 2022 lalu, wabah PMK kian meluas.

Dengan daya tular (morbiditas) yang mencapai 90%-100%, tak heran jika sampai Selasa (17/5) kemarin PMK telah menjangkiti sekitar 3,9 juta ternak yang terdiri dari sapi dan kerbau, di 52 kabupaten/kota. Secara rinci, berdasarkan data integrated Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS) Kementerian Pertanian, pada periode tersebut, tercatat ada 13.965 ekor ternak yang positif PMK.

Angka ini sama dengan 0,36% dari total populasi ternak yang ada di seluruh Indonesia, yakni sebanyak 13,81 juta ekor. Selanjutnya, 99 ekor ternak dilaporkan mati dan 2.630 ekor ternak sembuh setelah menjalani perawatan intensif. Sedangkan sisanya, berstatus suspect alias terindikasi akut semenjak menunjukkan gejala PMK. 

Agar tidak semakin meluas, para peternak di berbagai daerah pun terpaksa menghentikan lalu lintas ternak mereka. Micro lockdown atau penutupan daerah lantas menjadi pilihan. Gugus Tugas penanganan PMK misalnya, menerapkan penutupan wilayah bagi lalu lintas ternak di Aceh Barat mulai Selasa (17/5). 

Dengan adanya kebijakan ini, Gugus Tugas yang terdiri dari petugas kesehatan hewan (keswan), Polri dan TNI pun melarang total masuknya ternak dari luar daerah, meskipun memiliki surat resmi yang menjelaskan bahwa ternak yang mereka bawa dalam keadaan sehat dan bebas PMK. Pun bagi peternak lokal yang hendak memasok ke daerah lain.

“Ini kami lakukan untuk mencegah terjadinya wabah penyakit kuku dan mulut bagi ternak di dalam daerah,” ujar Kepala Bagian Operasional Polres Aceh Barat Kompol Iswar, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Selasa (17/5).

Kewaspadaan, lanjut Iswar, sangat perlu ditingkatkan mengingat Aceh Barat termasuk ke dalam daerah yang masih bebas PMK. Sementara Aceh menjadi salah satu provinsi dengan kasus PMK terbanyak selain Jawa Timur. 

Dengan jumlah mencapai 5.689 ekor ternak sakit menurut iSIKHNAS. Sedangkan berdasarkan data Dinas Peternakan Aceh, sebanyak 5.159 ekor ternak jenis sapi dan kerbau sudah terinfeksi PMK dan ditemukan 1.671 ekor ternak suspect PMK di wilayah Langsa, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie Jaya, Lhokseumawe, dan Pidie. 

Sponsored

“Petugas akan terus mengawasi dan melakukan penyekatan secara ketat,” tegasnya. 

Rekapitulasi Sapi dan Kerbau Terdampak Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) per 17 Mei 2022

Provinsi

Jumlah Kab./Kota terdampak

Populasi terdampak (ekor)

Populasi per provinsi 2021 (ekor)

Status

Persentase

Sakit*

Sembuh**

Mati ***

Jumlah

52

3.910.310

13.810.749

13.965

2.630

99

0,36

 

 

 

 

0,36%

18,83%

0,17%

 

Aceh

1

47.802

557.018

5.689

1.039

26

11,90

Bangka Belitung

3

10.347

16.940

1.304

214

2

12,60

Banten

1

678

102.759

4

-

-

0,59

DIY

1

55.490

316.059

10

1

-

0,02

Jawa Barat

5

165.468

619.993

611

43

7

0,37

Jawa Tengah

12

689.319

2.066.457

280

194

-

0,04

Jawa Timur

15

1.941.131

5.263.624

4.119

838

35

0,21

Kalimantan Barat

1

14.186

160.917

133

6

8

0,94

Kalimantan Selatan

1

71.831

174.840

21

-

-

0,03

Kalimantan Tengah

1

26.993

101.545

72

-

-

0,27

Lampung

1

24.175

882.989

41

-

-

0,17

Nusa Tenggara Barat

2

363.770

1.452.793

415

292

8

0,11

Sumatera Barat

5

151.660

510.323

104

-

-

0,07

Sumatera Selatan

1

1.281

344.002

12

3

13

0,94

Sumatera Utara

2

346.179

1.032.644

1.150

-

-

0,33

*) Konfirmasi hasil positif (+) PCR di Laboratorium

**) Gejala klinis tidak ada dan belum boleh dilalulintaskan

***) Termasuk potong paksa

Sumber: integrated Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS) Kementerian Pertanian

Selain Aceh Barat, micro lockdown juga diterapkan pula di beberapa daerah di Jawa Barat, imbas telah menyebarnya PMK di Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Kuningan. 

Foto Pixabay.com.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Jawa Barat Arifin Soedjayana bilang, pembatasan wilayah berbasis kecamatan atau desa ini dilakukan untuk meminimalisir dampak ekonomi yang harus diderita peternak lokal, jika penyebaran wabah semakin meluas.

Namun demikian, penguncian terbatas ini tidak dilakukan secara total. Sehingga, ternak dari luar Jawa Barat masih dapat masuk, asalkan telah melakukan pengecekan kesehatan dulu sebelumnya dan memiliki Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH).

"Karena sebentar lagi kan Iduladha. Kebutuhan kita untuk penyembelihan hewan kurban itu 70.000 (ekor). Sementara 80% dipenuhi dari luar (Jawa Barat)," jelas Arifin kepada Alinea.id, Rabu (18/5).

Meski peternak tidak sepenuhnya menginginkan penguncian terbatas, namun kebijakan ini menjadi satu-satunya cara yang saat ini dapat dilakukan untuk membendung penularan PMK. Sebab, ketika wabah telah merata ke seluruh Indonesia, dampak ekonomi yang ditimbulkan akan semakin besar.

Menurut Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf PMK 71% berdampak terhadap kegiatan usaha ternak, 52% terhadap bisnis hotel dan restoran, 58% terhadap sektor pertanian, 47% terhadap sektor perdagangan, 42% kepada industri manufaktur, dan 42% kepada sektor transportasi.

"Lalu 55% terhadap sektor jasa dan pelayanan, 23% kepada bisnis finansial, serta 49% terhadap sektor konstruksi," ujarnya yang mengutip penelitian Prism. 

Kerugian itu terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas ternak, baik dari sisi pertumbuhan sapi potong atau turunnya produksi sapi perah. Di saat yang sama, hewan ternak juga mengalami penurunan kesuburan (fertilitas) hingga keterlambatan kebuntingan dan peningkatan risiko kematian anak. Belum lagi, kerugian juga dapat terjadi karena peternak harus memusnahkan hewan ternak mereka yang sudah terserang PMK kronis. 

“Karena hal itulah, kemudian dampaknya menjalar kepada potensi kehilangan tenaga kerja utamanya peternak ataupun pekerjaan lain di bidang peternakan,” ujar Rochadi kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu. 

Sumber terbesar

Padahal tenaga kerja di subsektor peternakan pada 2020 saja sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang tersedia di tahun 2018. Di mana pada 2020 terdapat sekitar 4,59 orang bekerja di subsektor ini, sedangkan pada 2018 ada sebanyak 4,83 juta orang. 

Dari angka tersebut, mayoritas peternak merupakan peternak rakyat atau peternakan yang diusahakan oleh rumah tangga dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan. Mereka menjual ternak berdasarkan keperluannya dan tidak berorientasi ekonomi, ‘no land based’ (flying herd), serta berskala kecil. 

Tidak hanya itu, ternak atau dalam hal ini kotoran ternak sebagai sumber pupuk, ternak sebagai sumber tabungan, hingga sebagai sumber tenaga kerja. “Pada intinya, peternak rakyat akan menjual ternaknya jika mereka membutuhkan uang tunai, jadi yang mereka lakukan adalah supply driven bukannya demand driven,” imbuhnya.

Dengan lebih dari 90% ternak dipelihara oleh keluarga peternak, praktis membuat peternakan rakyat menjadi tulang punggung dalam menyediakan pangan, khususnya protein hewani bagi seluruh rakyat. Sampai saat ini, diperkirakan produksi daging sapi domestik memberikan kontribusi sekitar 60% dan susu berkisar 20% terhadap konsumsi nasional.

Foto Pixabay.com.

Indonesia juga kerap mengekspor produk-produk peternakan, seperti daging beku, produk olahan daging, susu dan produk olahan susu, produk hewani non pangan, obat hewan, hingga pakan ternak dan bahan untuk pakan ternak. 

Mengutip data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2020, nilai ekspor subsektor peternakan tahun 2019 mencapai US$7,4 juta. Di mana jika dirinci, nilai ekspor hewan ternak (livestock) pada tahun tersebut mencapai US$61.219,11, produk hasil ternak sebesar US$161.364,83, produk hewani non pangan senilai US$81.662,89, obat hewan US$14.126,49, dan produk peternakan lainnya US$426.004,80. 

Nilai Ekspor dan Impor Sub Sektor Peternakan Tahun 2015-2019 (US$ ribu)

Tahun

Ekspor

Impor

2015

443.432,85

2.934.276,94

2016

543.292,29

3.190.957,70

2017

625.144,05

3.371.485,80

2018

640.170,89

3.682.624,13

2019

744.378,11

3.945.627,17

Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2020

Sementara itu, jika didasarkan pada data statistik ekspor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor hasil peternakan pada tahun 2019 mendapatkan kontribusi tertinggi dari komoditas lemak yakni sebesar 83%. Kontributor terbesar berikutnya adalah komoditas susu dan kepala susu yakni sebesar 16%. Sedangkan komoditas lainnya hanya memberikan kontribusi kurang dari 2% terhadap total volume ekspor produk peternakan di tahun 2019.

“Dari sisi pertanian, PMK dapat berimbas kepada ekspor pucuk tebu,” imbuh Rochadi.
 
Meski tidak banyak, Indonesia sering kali mengekspor pucuk tebu kering atau yang dikenal juga dengan daduk ke beberapa wilayah, misalnya Jepang. Pucuk tebu ini nantinya akan dimanfaatkan sebagai mulsa, bahan penutup tanah yang berfungsi untuk mengurangi penguapan dan meredam pertumbuhan gulma. 

Pada 2020 saja, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI telah melakukan tiga kali ekspor pucuk daun tebu kering (sugar cane top/SCT) alias daduk ke Jepang. Di mana untuk pertama kalinya, perseroan mengirimkan daduk yang berasal dari lahan Hasil Guna Usaha (HGU) Pabrik Gula Djatiroto ke negeri sakura pada Februari 2020, dengan total 17 ton dan pengiriman ketiga mencapai 34 ton.

“Ini Jepang bisa saja menyetop, karena mereka khawatir kalau PMK nantinya bisa menyebar dari pucuk tebu itu,” ujar Rochadi.

Ancaman boikot

Berkaca dari wabah PMK yang terjadi di dunia pada 2001-2003, respon negara-negara yang telah terbebas dari PMK cukup keras terhadap negara atau wilayah yang masih memiliki kasus positif. Hal ini dilakukan agar foot mouth disease (FMD) tidak masuk lagi ke negara mereka. 

Pada saat itu, hanya ada lima negara yang sudah bebas PMK, yakni Kanada, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Indonesia. Menurut mantan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian Sofyan Sudrajat, pembebasan Indonesia dari wabah PMK membutuhkan upaya yang sangat sulit dan waktu hingga 100 tahun lamanya. 

Foto Pixabay.com.

Karenanya, tak heran jika setelah mendapat predikat bebas PMK dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (FAO), pemerintah menetapkan kebijakan ekstra ketat terhadap lalu lintas ternak dan produk ternak dari luar negeri. 

Misalnya, melarang masuknya kapal yang memuat jagung untuk pakan ternak dari Argentina, menolak masuknya kulit ternak dari Korea Selatan. Lalu, mengusir kapal yang bermuatan kulit ternak asal negara-negara Afrika, menolak dan mengembalikan daging domba kurban dari Arab Saudi beserta kontainernya. 

Kemudian juga menolak bantuan 5.000 ekor ternak asal Australia yang kapal dan ternaknya mampir di suatu negara tertular PMK untuk cari pakan. 

“Dengan pengalaman tersebut, maka negara-negara yang masih bebas PMK akan melakukan tindakan yang sama atau tindakan ketat pada barang atau bahan-bahan yang berkaitan dengan ternak yang berasal dari negara tertular PMK, termasuk dari Indonesia,” jelas Sofyan, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (19/5). 

Ketika tanah air belum terbebas dari PMK, Indonesia pun tidak bisa mengekspor ternak dan hasil ternak ke negara bebas PMK. Bahkan, ternak dan produk ternak, rumput dan pucuk tebu untuk pakan ternak juga acap kali ditolak oleh negara lain. Meskipun negara tersebut juga belum sepenuhnya terbebas dari PMK, seperti Jepang. 

“Apalagi negara bebas seperti Australia dan Selandia Baru, negara-negara ini selain menolak ternak dan bahan atau hasil produksi ternak asal Indonesia pada waktu itu, juga pesawat dan penumpang dari Indonesia sebelum turun disemprot disinfektan dulu,” imbuhnya. 

Oleh karenanya, dengan perkembangan wabah PMK yang terjadi saat ini, Sofyan memprediksi jika tak lama lagi, Australia dan Selandia Baru yang masih bebas PMK akan segera menetapkan kebijakan ketat terhadap Indonesia. Tidak hanya pada lalu lintas ternak dan produk ternak saja, melainkan juga terhadap produk-produk pertanian yang berkaitan dengan pakan ternak, hingga pariwisata. 

Saat kondisi ini tiba, kerugian yang harus dihadapi Indonesia akibat perdagangan luar negeri dapat mencapai Rp15,5 triliun per tahun. Angka tersebut akan terus bertambah setiap tahunnya, jika penyebaran PMK tidak segera dihentikan. 

“Sebelum penyakit ini diberantas, akan sulit untuk memajukan usaha peternakan kita. Di samping yang menderita para peternak kecil, ternak perusahaan seperti perusahaan peternakan sapi perah, perusahaan sapi potong dan perusahaan babi serta perusahaan jenis ternak rentan lainnya juga,” papar Sofyan.

Selain itu, ketika pelarangan terjadi, Indonesia pun tidak bisa berbuat apa pun. Apalagi menggugat kebijakan dari negara lain terkait perdagangan internasional ini ke organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO). 

Sebab, berdasarkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia  atau Office Internationale Des Epizooticae (OIE) dan aturan dari Sanitary and Pito Sanitary (SPS) Measure, langkah penolakan tersebut tidak bisa disalahkan. 

“Kalau tidak segera dihentikan, yang rugi adalah bangsa dan negara. Menderita kerugian ini bisa ratusan tahun,” kata Sofyan.

Sementara itu, Kementerian Pertanian sebelumnya memperkirakan, dengan mewabahnya kembali PMK, Indonesia diperkirakan dapat mengalami kerugian hingga Rp9,9 triliun. Angka ini diperhitungkan dari kerugian karena ternak mati, kerugian yang harus dihadapi peternak karena produktivitas ternak berkurang, serta penanganan PMK saja. Belum termasuk di dalamnya adalah kerugian dari perdagangan ternak, baik di dalam maupun luar negeri. 

Namun demikian, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri masih tetap optimistis jika ekspor peternakan nasional masih akan tumbuh kuat. “Kenaikan ekspor yang dihitung secara tahunan maupun kumulatif merupakan bukti bahwa pertanian yang di dalamnya juga ada subsektor peternakan adalah salah satu sektor yang paling strategis yang bisa meningkatkan perekonomian nasional,” kata dia, dalam keterangan kepada Alinea.id, Rabu (18/5).

Terpisah, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengungkapkan, sejak masuknya kembali PMK pada akhir bulan lalu sampai sekarang,  belum ada laporan penolakan produk peternakan maupun produk olahan makanan berbahan dasar daging Indonesia. 

Meski begitu, dia tidak mau gegabah dan lebih memilih menyiapkan langkah antisipasi untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi, termasuk  penolakan terhadap ekspor ternak dan produk olahan berbasis daging.

“Antisipasinya tentunya melalui perwakilan perdagangan menjelaskan secara baik kepada para importir di negara tujuan ekspor kita bahwa semua dalam kendali dan pemerintah menangani hal ini secara serius,” jelas Didi saat dihubungi Alinea.id, Rabu (20/5).

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
 

Berita Lainnya
×
tekid