Demam tanaman hias selamatkan industri gerabah dari keterpurukan

Industri gerabah nasional yang terpukul gara-gara pandemi tak hanya kerajinan tangan namun juga warisan budaya.

Ilustrasi Alinea.id/MT. Fadillah.

Memasuki Desa Wisata Kasongan, mata akan langsung disuguhi pemandangan toko-toko yang berjejer menjual aneka kerajinan gerabah. Perajin gerabah baik laki-laki dan perempuan dari berbagai usia terlihat fokus mengadoni tanah liat. Tanah berwarna coklat kemerahan itu kemudian dibentuk di atas meja putar.

Desa di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta itu juga memiliki berbagai workshop gerabah. Tidak hanya itu, di teras rumah, pekarangan, atau bahkan pinggir-pinggir jalan sangat lumrah ditemukan gerabah yang  sedang dijemur di bawah terik matahari. 

“Biar cepet kering sama awet,” begitu kata Manto, salah seorang perajin gerabah, yang ditemui Alinea.id, Selasa (31/8). 

Dia bilang, selama ini Desa Kasongan memang terkenal sebagai sentra gerabah yang telah ada sejak puluhan tahun lalu. Desa ini juga ditetapkan sebagai desa wisata sejak 1971-1972. Setiap hari, para perajin seperti dirinya bisa membuat 5-10 gerabah, tergantung jenis kerajinan apa yang mereka buat. 

Bentuknya bisa berupa patung Loro Blonyo -patung sepasang pengantin berpakaian adat Jawa-, patung Budha, Bunda Maria, serta guci dengan berbagai bentuk dan ukuran. Namun, produk gerabah yang saat ini paling laris terjual adalah pot-pot untuk tanaman hias.