sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Demam tanaman hias selamatkan industri gerabah dari keterpurukan

Industri gerabah nasional yang terpukul gara-gara pandemi tak hanya kerajinan tangan namun juga warisan budaya.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Minggu, 03 Okt 2021 07:25 WIB
Demam tanaman hias selamatkan industri gerabah dari keterpurukan

Memasuki Desa Wisata Kasongan, mata akan langsung disuguhi pemandangan toko-toko yang berjejer menjual aneka kerajinan gerabah. Perajin gerabah baik laki-laki dan perempuan dari berbagai usia terlihat fokus mengadoni tanah liat. Tanah berwarna coklat kemerahan itu kemudian dibentuk di atas meja putar.

Desa di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta itu juga memiliki berbagai workshop gerabah. Tidak hanya itu, di teras rumah, pekarangan, atau bahkan pinggir-pinggir jalan sangat lumrah ditemukan gerabah yang  sedang dijemur di bawah terik matahari. 

“Biar cepet kering sama awet,” begitu kata Manto, salah seorang perajin gerabah, yang ditemui Alinea.id, Selasa (31/8). 

Dia bilang, selama ini Desa Kasongan memang terkenal sebagai sentra gerabah yang telah ada sejak puluhan tahun lalu. Desa ini juga ditetapkan sebagai desa wisata sejak 1971-1972. Setiap hari, para perajin seperti dirinya bisa membuat 5-10 gerabah, tergantung jenis kerajinan apa yang mereka buat. 

Bentuknya bisa berupa patung Loro Blonyo -patung sepasang pengantin berpakaian adat Jawa-, patung Budha, Bunda Maria, serta guci dengan berbagai bentuk dan ukuran. Namun, produk gerabah yang saat ini paling laris terjual adalah pot-pot untuk tanaman hias.

“Kalau patung bisa lebih lama. Tapi kalau kayak guci atau pot itu cepet seselainya,” ujar dia.

Sebelum wabah Covid-19 menghantam Indonesia, banyak wisatawan mancanegara dan domestik datang ke desa yang berjarak 6 kilometer dari Alun-alun Utara Yogyakarta ini. Selain membeli gerabah, wisatawan juga belajar membuat kerajinan tersebut melalui paket wisata edukasi.

Toko-toko yang menjual gerabah di Desa Wisata Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Foto: Qonita Azzahra.

Sponsored

Sayangnya, ujar Manto, saat pagebluk menyerang semuanya terhenti. Gerabah yang diproduksi para perajin berkurang karena menurunnya permintaan. Selain itu, untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Yogyakarta, baik pemerinatah pusat maupun daerah melarang kunjungan wisatawan ke Kasongan dan tempat-tempat wisata lainnya. Desa yang biasanya ramai dengan turis itu langsung senyap.

Demam tanaman hias

Demi menjaga keberlangsungan hidup dan eksistensi gerabah, para perajin dan pengusaha gerabah pun harus memutar otak, mencari peluang di tengah musibah. “Dari sini kok kita lihat banyak orang yang jadi suka tanaman. Makanya kita terus bikin pot-pot hias. Alhamdulillah laris,” ungkap pemilik toko gerabah ‘Yopan Ceramics’ Triyani, saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (31/8).

Dia bilang, jika sebelum pandemi produk paling laris dari tokonya adalah guci, kini pot kaki (pot hias yang memiliki ornamen kaki) lah yang menjadi andalan. Pot-pot itu dijualnya dengan harga beragam, mulai dari Rp5.000 untuk pot berdiameter 10 centimeter hingga Rp350.000 untuk pot dengan diameter 60 centimeter.

Konsumen produk gerabahnya tak hanya datang dari dalam negeri saja, melainkan juga dari luar negeri, seperti Australia, Spanyol, hingga Belanda. Kapasitas pengiriman gerabah pun tak tanggung-tanggung, bisa mencapai dua kontainer setiap bulannya. Untuk pasar dalam negeri,  dirinya bisa mengirim gerabah ke Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur hingga Aceh dan Pekanbaru.

Meski sudah bisa menjamah pasar luar negeri, namun perempuan yang karib disapa Mbak Yani itu mengaku, ekspor gerabah yang sudah berlangsung sejak 1991 ini sempat terhenti pada 2020 lalu. Bahkan, karena hal tersebut omzet Yopan Ceramics sempat anjlok hingga 75%. Padahal, sebelum pandemi pihaknya bisa mendapatkan penghasilan Rp7-10 juta per minggu. 

Beruntung, kondisi itu tak berlangsung lama, pada akhir tahun 2020, penjualan tokonya berangsur naik. Bahkan, di tahun 2021 dia bisa mendapatkan omzet sekitar Rp5 juta per minggu. “Turun emang, tapi lumayan lah daripada sebelumnya,” tutur pengusaha yang sudah menekuni bisnis gerabah sejak 30 tahun terakhir itu.

Tak hanya produk pot bunga yang mengalami lonjakan permintaan namun juga gerabah tempat cuci tangan. Untuk memenuhi permintaan tersebut, kini Yani mempekerjakan perajin gerabah hingga 12 orang. Setiap perajin bisa membuat 20 buah pot dalam satu hari.

Pengrajin gerabah sedang membuat pot bunga. Foto: Qonita Azzahra.

Perempuan 55 tahun itu mengaku kelebihan pesanan pot dan bak cuci tangan tidak hanya dialami dirinya seorang, tapi juga oleh perajin lain di Kasongan. Kondisi ini menyebabkan bahan baku utama gerabah yakni tanah liat kian sulit didapat.

“Kita sampai berebut tanah. Padahal banyak sekali yang sebelumnya enggak buat pot jadi buat pot, yang kerja serabutan masak, mereka beralih ke cetak pot. Kadang nunggu 3-4 hari belum tentu dapat tanahnya,” keluhnya. 

Sementara itu, selain karena Corona, saat ini bisnisnya pun terancam oleh persaingan dagang dari negara Vietnam dan Cina yang menjual gerabah dengan harga lebih murah. Karena itu jugalah penjualan ritel dalam negeri lebih menggembirakan ketimbang ekspor gerabah ke luar negeri. 

“Tapi kita harus tetap optimis, tetap berusaha mbikin bentuk baru atau produk baru. Karena kan kita enggak cuma jual gerabah, tapi juga melestarikan budaya,” tutur Yani.

Melonjak pesat

Selain Yani, berkah pandemi juga dirasakan Burhanudin, pemilik usaha gerabah di Desa Plumpungrejo, Kademangan, Blitar, Jawa Timur. Dia mengaku, sejak pandemi omzet usaha gerabahnya berhasil meningkat hingga 100%. Kenaikan tersebut disebabkan oleh meningkatnya penjualan pot bunga dengan berbagai motif selama satu tahun terakhir. 

Diantara tiga motif pot bunga yang diproduksinya -motif timbul, semi timbul (lukisan) dan goresan-, motif semi timbul dan goresan lah yang paling banyak dicari konsumen. Dengan harga jual mulai dari Rp5.000 - Rp10.000 untuk pot bunga berukuran kecil hingga Rp1 juta untuk vas bunga atau guci hias. 

Ihwal omzet, pria 34 tahun itu mengaku saat ini sudah bisa mengantongi hingga Rp50-70 juta setiap bulan, dari yang sebelumnya hanya mencapai Rp25 juta. Adapun kebanyakan pesanan berasal dari luar kota seperti Malang, Surabaya, Tulungagung, Kalimantan dan Bali. Selain itu, Burhan juga mengaku sempat mengirim hasil kerajinannya itu ke Amerika Serikat. 

Meski begitu, laki-laki asli Blitar itu mengaku, masih kesulitan untuk ekspor lantaran masih terkendala kapasitas produksi. “Buat pasar dalam negeri saja keteter, apalagi ke luar negeri. Sebetulnya ada permintaan lagi, tapi kita enggak sanggup,” ungkapnya, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (26/9).

Terpisah, Pemerhati Gerabah Hias Achmad Widjaja mengatakan, selama ini produk gerabah Indonesia sebenarnya tak kalah berkualitas dari produk-produk asal Cina maupun Vietnam. Maka tak heran, jika banyak konsumen luar negeri yang melirik kerajinan asli Indonesia ini. 

Namun, rendahnya kapasitas produksi sentra-sentra gerabah yang ada di seluruh penjuru negeri membuat pengusaha tembikar, yang dalam hal ini didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) belum mampu memenuhi permintaan dari pasar internasional. Belum lagi, pandemi Covid-19 juga telah memberikan dampak besar kepada para perajin gerabah. Ditutupnya berbagai daerah dan negara, praktis membuat geliat bisnis gerabah terhenti, baik yang ada di dalam negeri maupun luar negeri.

“Untungnya itu enggak lama. Karena kemudian ada tren tanaman hias itu, terus para perajin yang tadinya memproduksi alat rumah tangga kayak piring, guci, dan hiasan lain beralih membuat pot dan tempat cuci tangan,” ujar Achmad kepada Alinea.id, Rabu (29/9).

Keunikan tanaman hias dalam pot gerabah (teracota). Foto: Kartika Runiasari.

Dia bilang, alih produksi itu dari guci menjadi pot bunga maupun tempat cuci tangan merupakan salah satu cara pengrajin untuk tetap bertahan dan bangkit dari dampak pagebluk. 

Di saat yang sama, Mantan Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) itu menilai, bisnis gerabah nasional sulit berkembang karena sentra-sentra tembikar yang ada saat ini masih tersebar dan belum difokuskan untuk menjadi industri. Padahal, jika sentra-sentra gerabah itu disatukan, pihaknya yakin nilai ekspor gerabah Indonesia akan bisa lebih tinggi lagi. 

Mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pada 2018 Indonesia berhasil mengekspor gerabah dan keramik hias senilai US$25,4 juta. Naik jika dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai US25,2 juta. Adapun pada saat yang sama, jumlah desa atau kelurahan yang menjadi sentra gerabah di Jawa Timur ada sebanyak 2.830 desa atau kelurahan, Jawa Tengah dan DIY 2.394 desa atau kelurahan, Jawa Barat 1.553 desa atau kelurahan, Lampung 714, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) 556 desa atau kelurahan.

“Sentra gerabah sangat banyak dan ini perlu disatukan, dalam artian kita perlu kelola secara bersama-sama dan jadikan sebagai industri,” tegas pria yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kamar Dagang (Kadin) Indonesia bidang Industri Hulu dan Petrokimia. 

Pemasaran digital

Langkah pemfokusan usaha gerabah, lanjut dia, harus dimulai dari Pemerintah Daerah (Pemda), utamanya melalui dinas koperasi yang ada di seluruh daerah di Indonesia. Pasalnya, dinas koperasi seharusnya mengetahui dengan pasti ada berapa sentra gerabah yang ada di wilayahnya. 

Selanjutnya, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) bertugas untuk memberikan pembekalan atau pelatihan kepada para perajin tembikar. Termasuk, mengajarkan pemasaran digital pada para pelaku usaha tembikar. 

“Sekarang semua serba digital. Sedangkan kalau UMKM itu kan cenderung belum melek teknologi. Jadi ini juga harus diajarkan,” imbuhnya.

Kemudian, peran Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun tak kalah penting dalam pengembangan usaha gerabah ini. Dia bilang, dalam hal ini Kemenperin  dapat membantu mempermudah izin usaha UMKM gerabah. Di saat yang sama, pemerintah juga harus melakukan promosi lebih gencar terhadap produk-produk gerabah nasional.

“Sekarang promosinya sangat kurang. Makanya itu, baik di dalam negeri maupun luar negeri, penjualan gerabah masih kurang optimal,” tutur Achmad.

Dihubungi terpisah, Pemerhati Ekonomi Digital Putra Wanda mengatakan, jika berbicara perkembangan industri gerabah yang sudah beroerientasi ekspor, tentu sentra gerabah nasional, seperi Gerabah Kasongan (DIY&Jawa Tengah), Gerabah Plered (Jawa Barat), Gerabah Malang (Jawa Timur), Gerabah NTB, dan Gerabah Banyumelek serta Gerabah Penekak harus masuk ke dalamnya. 

Pot tanaman hias yang berhasil dibentuk tengah dijemur di Desa Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Foto: Qonita Azzahra.

Namun, untuk mengembangkan nilai ekspor dari berbagai daerah tersebut, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari komunitas, pelaku wisata, masyarakat, hingga pemerintah. Adapun pengembangan industri gerabah dapat dilakukan melalui pendekatan baru dan sarat inovasi. 

“Tujuannya agar bisa sustain (berkelanjutan-red) di era industri 4.0 ini,” tuturnya kepada Alinea.id, Jumat (1/10).

Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM Eddy Satria mengatakan, saat ini pemerintah telah memberikan berbagai bantuan kepada para pelaku UKM gerabah. Diantaranya adalah bantuan permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan dana bergulir melalui LPDB (Lembaga Pengelola Dana Bergulir) bila sudah berkoperasi. Selanjutnya, pelatihan dan Pendampingan UKM gerabah melalui workshop dan penggunaan teknologi tepat guna untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi, sehingga UMKM bisa memiliki daya saing.

“Lalu ada pemberian kemudahan ijin usaha dan pembinaan kepada UMKM serta didorong melalui penguatan dengan berkoperasi. Kemudian penguatan kemitraan usaha untuk membantu menghubungkan produsen dengan perusahaan sebagai offtaker agar terjalin kemitraan,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (1/10). 

Ilustrasi Alinea.id/M.T. Fadillah.


 

Berita Lainnya
×
tekid