IDEAS: Omnibus Law tak cocok diterapkan di Indonesia

Askar Muhammad menyebut tujuan UU adalah untuk menurunkan biaya perekrutan dan memudahkan PHK.

Ilustrasi pekerja konstruksi. Foto Pixabay.

DPR mengesahkan UU Cipta Kerja atau yang dikenal sebagai Omnibus Law dalam rapat paripurna, Senin (5/10) lalu. Pengesahan UU yang lebih cepat dari rencana awal di Kamis (8/10) itu menuai pro dan kontra, salah satunya terkait klaster ketenagakerjaan.

Peneliti Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Askar Muhammad menilai kerangka besar yang terkandung di dalam UU itu adalah untuk pasar tenaga kerja yang fleksibel. Di mana hal tersebut akan mempermudah perusahaan untuk merekrut dan melepas tenaga kerja.

“Deregulasi dan liberalisasi peraturan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan alih daya (outsourcing) memberi konfirmasi bahwa tujuan UU ini adalah untuk menurunkan biaya perekrutan dan memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja," katanya dalam keterangan resmi, Kamis (8/10).

Dia mengatakan, secara bersamaan UU ini juga mendesain biaya tenaga kerja yang lebih murah bagi pemberi kerja. Rendahnya biaya PHK, sambungnya, akan menghindarkan perusahaan dari risiko bangkrut. 

Pada jangka panjang, turunnya angka perusahaan yang tutup karena bangkrut akan berujung pada penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Namun, menurutnya alasan ini hanya indah dalam konsep semata.