Jalan panjang negara mensejahterakan lansia

Jumlah lansia yang tinggi bagai pedang bermata dua: sebagai bonus atau beban demografi?

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Sejak 2010, Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk lanjut usia (lansia). Saat itu, jumlah penduduk lansia hanya 18 juta jiwa atau 7,56% dari total populasi. Namun, satu dekade berselang, yakni pada 2021, total penduduk berusia 60 tahun ke atas menjadi 10,82% atau sekitar 29,4 juta jiwa. 

Pada tahun 2045, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dalam Buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 memperkirakan, penduduk usia lanjut akan mencapai 19,85% dari total populasi. Peningkatan jumlah penduduk lansia ini bagaia dua sisi mata pedang. 

Di satu sisi, era penduduk berusia tua (aging population) bisa saja menjadi bonus demografi kedua. Dengan catatan, jika penduduk lansia masih produktif dan berdaya, sehingga dapat memberikan sumbangan kepada perekonomian nasional. 

“Dalam hal ini lansia dipandang sebagai kontributor pembangunan apabila mereka memiliki produktivitas demi diri sendiri dan masyarakat,” ujar Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Nopian Andusti, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, lonjakan jumlah lansia tersebut justru bisa menjadi beban demografis (demographic tax) atas pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, peningkatan jumlah lansia akan ikut meningkatkan tuntutan ekonomi dan sosial. Semakin tua usia seseorang akan kian tinggi pula tingkat ketergantungannya kepada keluarga atau masyarakat sekitar.