Kemenkeu ungkap rencana penggunaan pajak karbon

Salah satunya adalah pengurangan emisi gas rumah kaca dari sumber emisi.

ilustrasi. foto Pixabay

INDEF menggelar diskusi publik dengan judul “Menimbang Untung Rugi Pajak Karbon dan Kesiapan Implementasinya” secara virtual, pada Jum'at (22/10). Diskusi ini dalam rangka menindaklanjuti komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26% di 2021 dan 29% pada 2030.

Di sisi lain, pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sepakat mengenakan pajak Rp30 per kilogram bagi penyumbang emisi karbon mulai 1 April 2022. Namun, dalam proses pengimplementasian UU HPP ini, muncul beberapa kekhawatiran seperti respons terhadap pasar, kesiapan pemerintah, dan untung rugi pajak karbon terhadap perekonomian Indonesia.

Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan, pajak karbon ini diperkenalkan sebagai salah satu instrumen untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim. 

"Sebagaimana kita ketahui Indonesia adalah salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, yang memang di antaranya karena posisi atau letak geografis kita yang kepulauan, kemudian jugamayoritasnya perairan laut. Risiko perubahan iklim ini dikhawatirkan berdampak pada kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan, kerusakan ekosistem lautan, penurunan kualitas kesehatan, dan kemudian pangan pun bisa langka, dan hilangnya keanekaragaman hayati,” jelas Pande Putu.

Selain timbulnya ancaman terhadap kelangsungan hidup manusia, sebetulnya perubahan iklim ini berpotensi menyebabkan terjadinya kerusakan, dan perlu dilakukan perbaikan yang tentunya membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Pemerintah sendiri memperkirakan potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim dapat mencapai 0,66% sampai dengan 3,45% PDB pada 2019.