Nelangsa petani rakyat di negeri kaya sawit: Lempar handuk hingga bunuh diri

Petani sawit menjerit. Harga tandan buah segar (TBS) terus merosot, sementara biaya operasional lahan kian mahal.

Ilustrasi sawit. Foto Alinea.id.

Jon Simamora, terpaksa menginap hingga empat malam di depan pabrik kelapa sawit (PKS) demi menjual tandan buah segar (TBS), dua minggu lalu. Ia dan beberapa petani sawit dari Provinsi Bengkulu harus antre untuk memperdagangkan hasil panennya.

Mengularnya antrean di depan PKS merupakan buntut dari kebijakan persawitan yang sebelumnya dibuat pemerintah untuk menurunkan harga minyak goreng di pasaran, yakni berupa penerapan kewajiban pasar domestik (domestic market obligation/DMO) dan kewajiban harga domestik (domestic price obligation/DPO).

Pada 24 Mei 2022 lalu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan resmi menerapkan aturan DMO dan DPO kepada para produsen minyak sawit dan turunannya. Langkah ini menyusul pembukaan kembali ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dan produk turunannya setelah sebelumnya sempat ditutup karena harga minyak goreng nasional terus melambung. 

Celakanya, petani sawit justru megap-megap. Harga TBS terus merosot. Dua pekan lalu, 1 kilogram (kg) TBS sawit dihargai sebesar Rp1.400-Rp2.000 oleh rata-rata PKS. Harga tersebut masih lebih rendah ketimbang harga yang telah ditetapkan oleh Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Bengkulu yang senilai Rp1.942,94 per kg, dengan harga terendah Rp1.666,30 per kg dan tertinggi Rp2.219,58 per kg, serta toleransi sebesar 5% menjadi Rp1.845,79 per kg.

Tidak hanya itu, harga jual tersebut juga terkoreksi cukup dalam dari harga rata-rata bulan Mei yang telah disepakati dalam Rapat Koordinasi dan Penetapan Harga Tandan Buah Segar, yakni senilai Rp2.675 per kg.