close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pohon kelapa sawit. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi pohon kelapa sawit. Foto Pixabay.
Bisnis
Rabu, 05 Juni 2024 18:14

Ancaman implementasi UEDR dan pentingnya diversifikasi ekspor

Kebijakan EUDR berpotensi besar menimbulkan efek negatif bagi Indonesia.
swipe

Kebijakan Uni Eropa (UE) yang telah mengesahkan Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR) berpotensi besar menimbulkan efek negatif bagi Indonesia. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan produk yang masuk ke pasar UE berasal dari sumber yang legal dan bebas deforestasi.

Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas yang diatur dalam kebijakan tersebut. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan ekspor produk sawit dan turunannya asal Indonesia terancam tidak laku dengan adanya beleid tersebut.

Ia pun mendesak pemerintah untuk menguatkan upaya lobi dengan Uni Eropa sehingga aturan itu tidak merugikan Indonesia. Apalagi Eropa memiliki standar sendiri terhadap produk sawit.

“Meyakinkan Eropa dengan lobi-lobi,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (4/6).

Upaya lobi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dianggap masih sangat minim. Menurutnya, setiap momentum harus dimanfaatkan dengan memberi pemahaman kepada setiap negara UE. Bahwa, pembabatan hutan sudah dilakukan sejak lama dan merupakan bentuk pendayagunaan lahan untuk menanam sawit.

“Harus diberikan pemahaman itu,” ujarnya.

Kendati demikian, Fahmy menyebut kecil kemungkinan UE akan menghentikan tindakan yang dianggap mendiskriminasi minyak sawit dari Indonesia itu. Pasalnya, Indonesia sempat membuat UE naik pitam lantaran membuat kebijakan menyetop ekspor bijih nikel. Saat itu, UE lantas menggugat Indonesia melalui Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

“Saya pesimistis apalagi Uni Eropa sempat marah terhadap Indonesia karena melarang ekspor bijih nikel dan itu pukulan berat bagi industrinya Uni Eropa,” tuturnya.

Diversifikasi pasar

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) Arief Poyuono mengatakan negara-negara UE merupakan target ekspor. Ada kekhwatiran penerapan aturan ini bakal menggerus ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa yang sebenarnya sudah cenderung turun dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2021, ekspor CPO Indonesia ke kawasan UE tercatat sebanyak 4,63 juta ton. Di 2022, ekspor CPO ke UE berkurang menjadi 4,1 juta ton, kemudian kembali anjlok menjadi 3,7 juta ton pada 2023.

Secara keseluruhan, kinerja ekspor industri sawit Indonesia tidak terlalu menggembirakan bahkan sejak 2019 silam.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan ekspor produk-produk minyak kelapa sawit Indonesia pernah mencapai 37,4 juta ton pada 2019. Di 2020 yang bersamaan dengan pandemi Covid-19, ekspor minyak sawit Indonesia menyusut menjadi 34 juta ton.

Tren penurunan ini terus berlanjut pada 2021 dengan volume ekspor minyak sawit hanya mencapai 33,6 juta ton.

Ekspor minyak sawit Indonesia lagi-lagi turun menjadi 33,15 juta ton pada 2022. Berlanjut pada 2023, ekspor minyak sawit Indonesia kembali turun menjadi 32,21 juta ton.

Selain itu, Arief menganggap aturan EUDR juga merugikan para petani rakyat yang terbebani oleh sejumlah persyaratan dalam regulasi tersebut.

Arief menyebut, Indonesia bisa melakukan gugatan terhadap aturan EUDR. “Kalau gugatan Malaysia sudah selesai, sudah menang gugatan ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Tapi Malaysia akan mengikuti beberapa aturan untuk masuk ke Eropa. Nah sekarang tinggal Indonesia, apakah mampu memenangkan gugatan terhadap EU?” ujarnya.

Sementara Fahmy menyebut Indonesia perlu mendiversifikasi pasar kelapa sawit ke beberapa negara lain dan pasar domestik, sehingga ketergantungan terhadap Uni Eropa bisa berkurang. Lantaran, kebutuhan dalam negeri cukup besar untuk kebutuhan bahan baku minyak goreng. Di samping itu juga perlu dikembangkan produk turunan dari kelapa sawit yang itu bisa menjadi konsumsi pasar dalam negeri.

EUDR disahkan pada 29 Juni 2023, bertujuan mengurangi peran konsumen UE terhadap penggundulan hutan dengan cara melarang masuk impor tujuh komoditi, yakni kayu, kopi, kakao, minyak sawit, ternak, kedelai dan karet yang ditanam di kawasan terdeforestasi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menyebut selain mengancam ekspor kelapa sawit serta turunannya, aturan itu juga akan mengganggu ekspor kopi, ekspor karet, juga ekspor furnitur. Dia menghitung kerugiannya bisa mencapai miliaran Euro dan efeknya akan terasa pada akhir tahun ini. 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan