Omnibus Law dinilai bertentangan dengan otonomi daerah

Dengan Omnibus Law Cipta Kerja , wewenang pemerintah daerah bisa diambil alih oleh pemerintah pusat.

Kanan ke kiri: Staf Khusus Menteri ESDM Irwandy Arif, Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah, Peneliti Auriga Iqbal Damanik, dan Kepala Bidang Geologi Dinas ESDM Provinsi Banten Deri Deriawan dalam diskusi 'Polemik RUU Cipta Lapangan Kerja di Sektor Pertambangan Minerba' di Jakarta, Senin (24/2/2020). Alinea.id/Annisa Saumi.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) dinilai bertentangan dengan prinsip otonomi daerah. Sebab, dengan Omnibus Law Ciptaker ini, wewenang pemerintah daerah bisa diambil alih oleh pemerintah pusat.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mengatakan RUU Ciptaker bertentangan dengan prinsip otonomi daerah untuk melakukan penguatan dan kemandirian daerah.

"Kalau persoalan yang ingin diselesaikan adalah pungli, izin yang overlapping, sumber daya manusia (SDM) pemerintah daerah yang kurang, data yang kurang, seharusnya pembagian izin perizinan itu dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang ketat. Bukan dihilangkan sama sekali," kata Maryati di Jakarta, Senin (24/2).

Maryati menilai RUU Ciptaker ini berbahaya dalam konteks hubungan pusat dan daerah. Sebab, apabila jadi diketok, RUU tersebut akan emnarik kewenangan perizinan pertambangan dari daerah ke pusat.

Misalnya, Pasal 40 Ayat 3 RUU Ciptaker yang mengubah Pasal 6 dan 7 dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Sebelumnya, kedua pasal tersebut mengatur kewenangan pemerintah provinsi mengelola pertambangan minerba.