Sengsara nelayan atas kenaikan pungutan hasil perikanan

Kenaikan tarif Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dan  Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan menguras kantong nelayan.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Akhir September lalu, nelayan dari berbagai daerah kompak melakukan aksi protes. Mereka menuntut pemerintah membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

Para nelayan tidak hanya menyuarakan keberatannya atas pemberlakuan kenaikan tarif PNBP dan pungutan hasil perikanan (PHP). Mereka bahkan menuntut agar Sakti Wahyu Trenggono dicopot dari statusnya sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan. Paguyuban Nelayan Pati misalnya, melancarkan protes dengan mengusung keranda mayat dan mengibarkan bendera putih, sebagai simbol telah matinya hati nurani pemerintah. 

Alih-alih membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemberlakuan PP 85 Tahun 2021 justru akan menyulitkan para pekerja sektor perikanan tersebut. Sebab, kenaikannya mencapai 4 kali lipat dari tarif PNBP dan PHP sebelumnya, yakni yang diberlakukan pada PP 75 Tahun 2015.

Ketua Paguyuban Nelayan Mina Santosa, Heri Budianto menguraikan, jika sebelumnya nelayan harus membayar tarif PHP sebesar Rp500 ribu per gross tonnage (GT) kapal, kini mereka harus membayar sebesar Rp3,3 juta per GT. Sedangkan untuk PNBP yang sebelumnya hanya Rp40 ribu, sekarang menjadi Rp268 ribu per GT.

"Kenaikan ini sangat tidak masuk akal, sangat memberatkan. Untuk bayar PNBP dan PHP yang sebelumnya saja, (pendapatan-red) kita sudah negatif, apalagi kalau ini berlaku," keluhnya, saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini.