sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sengsara nelayan atas kenaikan pungutan hasil perikanan

Kenaikan tarif Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dan  Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan menguras kantong nelayan.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Kamis, 25 Nov 2021 06:34 WIB
Sengsara nelayan atas kenaikan pungutan hasil perikanan

Akhir September lalu, nelayan dari berbagai daerah kompak melakukan aksi protes. Mereka menuntut pemerintah membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

Para nelayan tidak hanya menyuarakan keberatannya atas pemberlakuan kenaikan tarif PNBP dan pungutan hasil perikanan (PHP). Mereka bahkan menuntut agar Sakti Wahyu Trenggono dicopot dari statusnya sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan. Paguyuban Nelayan Pati misalnya, melancarkan protes dengan mengusung keranda mayat dan mengibarkan bendera putih, sebagai simbol telah matinya hati nurani pemerintah. 

Alih-alih membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemberlakuan PP 85 Tahun 2021 justru akan menyulitkan para pekerja sektor perikanan tersebut. Sebab, kenaikannya mencapai 4 kali lipat dari tarif PNBP dan PHP sebelumnya, yakni yang diberlakukan pada PP 75 Tahun 2015.

Ketua Paguyuban Nelayan Mina Santosa, Heri Budianto menguraikan, jika sebelumnya nelayan harus membayar tarif PHP sebesar Rp500 ribu per gross tonnage (GT) kapal, kini mereka harus membayar sebesar Rp3,3 juta per GT. Sedangkan untuk PNBP yang sebelumnya hanya Rp40 ribu, sekarang menjadi Rp268 ribu per GT.

"Kenaikan ini sangat tidak masuk akal, sangat memberatkan. Untuk bayar PNBP dan PHP yang sebelumnya saja, (pendapatan-red) kita sudah negatif, apalagi kalau ini berlaku," keluhnya, saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini.

Nelayan Indonesia. Unsplash.com.

Padahal, uang jual ikan hasil melaut masih harus dibagi dengan kebutuhan lain, seperti membayar anak buah kapal (ABK), operasional perbekalan, hingga membayar angsuran bank. Belum lagi, harga solar sebagai bahan bakar utama kapal juga mengalami kenaikan dari yang sebelumnya ada di kisaran Rp7.800 per liter menjadi Rp9.000 per liter.

Sebagai informasi, satu kapal jaring tarik berkantong atau yang sebelumnya disebut cantrang bisa menghabiskan sekitar 5.000 liter sekali jalan. Sedangkan kapal pursein yang di dalamnya terdapat freezer atau coldstorage, bisa menghabiskan sekitar 600 drum, yang mana dalam satu drum memuat hingga 200 liter solar. 

Sponsored

Dengan kenaikan solar ini, kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pati Rasmijan, akan semakin menekan pendapatan nelayan. "Dengan pungutan naik, solar naik, ini sangat sulit buat kami. Padahal kan kita enggak cuma butuh makan, tapi anak kami juga butuh sekolah," keluhnya, Kamis (11/11).

Ia justru menilai PP 85 Tahun 2021, dapat menguntungkan kapal nelayan asing. Hal ini tertuang jelas pada aturan turunan PP yang ditetapkan pada 19 Agustus 2021 ini, yakni Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Nomor 86 Tahun 2021 dan Kepmen Nomor 87 Tahun 2021. Di mana PNBP yang dikenakan kepada nelayan pra produksi adalah sebesar 10% untuk kapal 60-1000 GT. 

Padahal, menurut Ketua Paguyuban Nelayan Mina Santosa Heri Budianto, kapal nelayan di Pati, Jawa Tengah, tidak ada yang lebih dari 300 GT. "GT sebesar itu, kalau di laut Pati, itu cuma orang luar yang punya," ungkap dia.

Belum lagi, dengan teknologinya yang serba canggih, kapal asing yang memiliki kapasitas sama dengan kapasitas kapal nelayan lokal mampu menangkap ikan jauh lebih banyak. Sementara, pungutan PNBP dan PHP hanya diberlakukan kepada kapal nelayan-nelayan Indonesia saja. Hal-hal itulah yang lantas membuat para nelayan menyuarakan protesnya kepada pemerintah terkait perubahan tarif tersebut.

Sementara itu, jika pemerintah menetapkan tarif PNBP dan PHP berdasarkan GT, artinya keseluruhan isi kapal akan dikenai biaya. Sebab, rumus dari tarif pungutan tersebut adalah persentase dikali Harga Patokan Ikan (HPI) dan dikali lagi dengan hasil produksi berdasarkan bobot tonase kapal.

HPI yang diterapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pun merupakan harga perkiraan saja. Apalagi, HPI yang diterapkan jauh lebih tinggi dari harga-harga ikan yang beredar di pasaran.

Dengan demikian, jika kapal berukuran 30 GT, maka segala aktivitas nelayan mulai dari menangkap ikan, tidur, memasak, hingga buang hajat akan dikenai biaya. Sebab, di dalam sebuah kapal tidak hanya ada tempat penyimpanan hasil tangkapan ikan saja, melainkan juga ruang komando, kamar mesin, tangki BBM dan air, hingga tempat memasak dan tempat tidur.

"Kenapa enggak dihitungnya dari siklus usaha kapal saja? Itu lebih masuk akal," imbuh Heri.

Perbandingan tarif pungutan perikanan. (Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP).

PP 75/2015

PP 85/2021

Jenis

Satuan

Tarif

Jenis

Satuan

Tarif

Penarikan Pra Produksi

Penarikan Pra Produksi

Skala Kecil

Per Tahun

5% x Produktivitas Kapal x HPI x Ukuran GT Kapal

Kapal Penangkapan Ikan di Atas 5 GT s.d 60 GT

Per Tahun

5% x Produktivitas Kapal x HPI x Ukuran GT Kapal

Skala Menengah

Per Tahun

10% x Produktivitas Kapal x HPI x Ukuran GT Kapal

Kapal Penangkapan Ikan di Atas 60 GT s.d 1.000 GT

Per Tahun

10% x Produktivitas Kapal x HPI x Ukuran GT Kapal

Skala Besar

Per Tahun

25% x Produktivitas Kapal x HPI x Ukuran GT Kapal

Kapal Penangkapan Ikan di Atas 1.000 GT

Per Tahun

25% x Produktivitas Kapal x HPI x Ukuran GT Kapal

 

 

 

Penarikan Pascaproduksi

 

 

 

Kapal Penangkapan Ikan  s.d 60 GT

Per Kg

5% x Nilai Produksi Ikan Pada Saat Didaratkan

 

 

 

Kapal Penangkapan Ikan di Atas 60 GT

Per Kg

10% x Nilai Produksi Ikan Pada Saat Didaratkan

 

 

 

Penarikan Sistem Kontrak

Per Kg

Sesuai Dengan Nilai Kontrak Kerja Sama

Menurut Pembina Asosiasi Pengusaha Ikan Lamongan (ASPILA) Sudarlin, kapal berukuran 5 sampai 30 GT termasuk kategori kelompok nelayan kecil. "Masih baik kalau itu buat kapal 30 GT ke atas. Lebih baik untuk kapal 5 GT sampai 30 GT enggak dipungut," ujarnya menyoal kenaikan tarif pungutan ini, kepada Alinea.id, Selasa (23/11).

Adapun berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP tahun 2016, jumlah kapal di bawah 5 GT sebanyak 115.814 unit. Lalu kapal 5-10 GT sebanyak 35.988 unit, kapal 10-20 GT sebanyak 9.790 unit. Berikutnya kapal 20-30 GT sebanyak 6.481 unit, kapal 30-50 GT sebanyak 805 unit, kapal 50-100 GT sebanyak 2.008 unit, kapal 100-200 GT sebanyak 847 unit dan di atas 200 GT ada 11 unit.

Kontribusi minim

Ihwal kenaikan tarif PNBP dan PHP ini, Pengamat Perikanan dan Kelautan Yonvitner menilai, hal ini memang sudah sepatutnya dilakukan oleh pemerintah. Mengingat kontribusi sektor kelautan yang masih sangat kecil kepada negara. Padahal, jika dimaksimalkan potensi hasil laut Indonesia masih sangat besar. 

Foto Unsplash.com.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi sektor perikanan kuartal-II 2021 mencapai 9,06%. Angka ini lebih tinggi ketimbang kuartal yang sama 2021 sebesar 6,41%.

Sementara produk domestik bruto (PDB) perikanan berdasarkan harga konstan 2010 kuartal-I 2021 sebesar Rp63.649,9 miliar, turun dibandingkan periode sama 2020 sebesar Rp64.494,5 miliar. Adapun untuk kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional hanya 2,83%. Artinya, stagnan dan tidak mengalami perubahan signifikan dari periode sebelumnya.

Di sisi lain, potensi sektor perikanan Indonesia adalah yang terbesar di dunia, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya dengan potensi produksi lestari sekitar 67 juta ton/tahun. Dari angka ini, potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY) perikanan tangkap laut sebesar 9,3 juta ton/tahun dan perikanan tangkap di perairan darat, yang meliputi danau, sungai, waduk, dan rawa adalah sekitar 0,9 juta ton/tahun, atau total perikanan tangkap 10,2 juta ton/tahun.

Sisanya, 56,8 juta ton/tahun adalah potensi perikanan budidaya, baik budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (tambak), maupun budidaya perairan tawar (darat).

Namun, berdasarkan angka produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya tahun 2018, produksi perikanan tangkap Indonesia hanya mencapai 7,36 juta ton atau 72,17% dari potensi perikanan tangkap. Sedang produksi perikanan budidaya mencapai 15,77 juta ton atau 27,76% dari potensi perikanan budidaya di laut dan darat.

"KKP memang memerlukan instrumen untuk memastikan sektor perikanan ada kontribusinya untuk negara. Tapi kemudian, kita perlu cara terbaik yang kita gunakan untuk mendapatkan kontribusi itu," tegasnya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (22/11).

Sementara itu, untuk menetapkan cara terbaik untuk memberlakukan pungutan, lanjut Yonvitner, pemerintah seharusnya melihat terlebih dulu dari masing-masing formulasi nelayan yang ada. Sebab, di Indonesia ada berbagai jenis nelayan, mulai dari nelayan besar, nelayan bagi hasil, nelayan pengupahan, hingga nelayan tradisional.

Dengan formula terbaik, yang sebelumnya telah mempertimbangkan ongkos produksi dan pendapatan nelayan, dia menilai, pungutan yang diterapkan tidak akan terlalu memberatkan masyarakat pesisir tersebut.

"Misalnya, di kapal 30 GT dia dapat 10 ton, itu semua nelayan sudah berpenghasilan baik. Di situ kita sudah mulai bisa bekerja. Sehingga nanti, nelayan berpenghasilan dan negara juga mendapatkan," jelas dia.

Penentuan periodik

Terpisah, Wakil Ketua Komite Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hendra Sugandhi menilai, alih-alih menaikkan tarif PNBP baik pra maupun pascaproduksi seharusnya pemerintah lebih perlu menyesuaikan komponen produktivitas dan HPI secara periodik. Sebab, selama ini penentuan produktivitas dan HPI selalu tidak sesuai dengan harga di pasaran.
 
Misalnya, alat tangkap purse seine pelagis besar yang hasil tangkapannya merupakan tuna sirip kuning grade A dengan harga patokan ikannya Rp60.000. Pada kenyataannya, harga ikan jaring dengan harga ikan hasil pancing berbeda jauh. 

Contoh lain, asumsi bahwa ada tuna sirip biru dalam komposisi hasil tangkapan rawai tuna. Padahal, spesies ini hanya ada di wilayah tertentu yang menjadi jalur migrasinya, seperti selatan Jawa dan Bali. Sementara di wilayah penangkapan lain tidak ada tuna sirip biru sama sekali.

"Keanehan ini menunjukkan kalau dalam menentukan HPI dan komposisi hasil tangkapan, KKP tidak menggunakan konsultasi publik. Aspirasi nelayan sebagai pelaku diabaikan," kata dia, beberapa waktu lalu.

Foto Unsplash.com.

Di sisi lain, Hendra juga menepis anggapan tentang produktivitas hasil perikanan melimpah. Sebaliknya, menurut dia, hasil laut di Indonesia saat ini perlahan-lahan sudah mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari ekspor hasil perikanan yang juga kian menipis. 

Belum lagi, nelayan perikanan tangkap juga harus menanggung faktor risiko dan ketidakpastian lainnya, seperti cuaca alam dan musim, serta sifat ikan yang terus bergerak. Hal ini sebaiknya dipahami oleh pengambil kebijakan, jangan serampangan menaikkan tarif, produktivitas dan harga patokan ikan.

"Seharusnya ada kajian dampak kebijakan, jangan sampai nelayan menghentikan kegiatan penangkapan ikan karena tidak sanggup membayar pungutan hasil perikanan," tukasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini mengatakan, beleid PP 85 Tahun 2021 adalah salah satu upaya pemerintah untuk menutup kekurangan penerimaan negara. Di saat yang sama, kenaikan HPI juga merupakan hal yang wajar untuk dilakukan. Apalagi, harga patokan ikan tersebut sudah tidak mengalami kenaikan sejak 10 tahun terakhir. 

"Perubahan HPI ini sudah sesuai dengan data harga ikan di 124 pelabuhan perikanan yang dikumpulkan sejak dua tahun terakhir," jelasnya kepada Alinea.id, Minggu (14/11).

Namun demikian, untuk menjawab aspirasi masyarakat perikanan terkait peningkatan HPI sampai 400 bahkan 500%, pihaknya telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 97 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Ikan dan Kepmen KP Nomor 98 Tahun 2021 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, untuk merevisi aturan sebelumnya.

Jika sebelumnya tarif tertinggi diterapkan pada alat tangkap longline dan pancing cumi bisa mencapai 400% dan 500%. Dengan aturan saat ini sudah menjadi 104% kenaikannya. 

"Ini mahal karena harga cumi di tahun 2010 hanya Rp16.000, saat ini rata-rata Rp60.000. Sekarang sudah diterima pelaku usaha karena sudah ada perubahan harga. Kalau selain alat tangkap cumi dan longline sudah di bawah 100%," urai Zaini.

Sementara untuk kenaikan tarif PNBP pascaproduksi, baru akan ditetapkan pada awal 2023 nanti di pelabuhan di seluruh Indonesia, untuk menggantikan sistem pra produksi. Sedangkan untuk sistem kontrak, saat ini masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut oleh KKP.

"Jadi jangan khawatir. Karena ini belum diterapkan. Masih dibahas," tandas dia.

Berita Lainnya
×
tekid