Travel bubble: Angin segar sektor pariwisata atau ancaman klaster Corona?

Travel bubble menjadi harapan bagi sektor pariwisata. Namun melonjaknya kasus Covid-19 varian Omicron menjadi ancaman.

Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.

Setelah resmi diterapkan pada 24 Januari lalu, otoritas maritim Singapura akhirnya memberi lampu hijau kepada warganya untuk berwisata di Nongsa dan Bintan, Indonesia. Ferry pertama yang mengangkut para turis ditargetkan bertolak dari Pelabuhan Tanah Merah, Singapura pukul 15.00 waktu setempat atau pukul 14.00 WIB pada Jumat (18/2) besok. Selanjutnya, ferry akan berlabuh di Pelabuhan Nongsapura Terminal Ferry, Nongsa, Batam pukul 14.40 WIB. 

Pelabuhan perdana kapal yang mengangkut turis Singapura ini tentu menjadi kabar baik bagi para pelaku pariwisata di Kawasan Nongsa, Batam, Kepulauan Riau. Ketidakpastian kebijakan travel bubble antara Indonesia dengan Singapura, selama 1,5 tahun lamanya akhirnya sirna. 

Mengutip laman Setkab.go.id, travel bubble atau gelembung perjalanan adalah sistem koridor perjalanan yang bertujuan untuk membagi peserta ke dalam kelompok (bubble) yang berbeda. Caranya dengan memisahkan peserta tujuan wisata atau seseorang yang memiliki risiko terpapar Covid-19.

Pemisahan juga disertai pembatasan interaksi hanya pada orang di dalam satu kelompok (bubble) yang sama dan penerapan prinsip karantina untuk meminimalisir risiko penyebaran Covid-19. 

Selain Indonesia dan Singapura, beberapa negara lain yang telah menerapkan kebijakan ini antara lain, Jepang, Selandia Baru dan Uni Emirat Arab. Ke depannya, lebih banyak negara diperkirakan akan mengikuti kebijakan travel bubble termasuk AS, Inggris, India, Bangladesh, dan Australia.