Warisan utang Jokowi untuk presiden 2024

Utang rezim Jokowi bakal menjadi bom waktu yang menjegal bakal presiden selanjutnya.

Ilustrasi beban utang. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Extraordinary. Diksi pamungkas ini kerap menjadi dalih pemerintah untuk menentukan kebijakan di tengah pandemi Covid-19. Kebijakan apapun yang dikeluarkan harus atas dasar kondisi luar biasa. Alias tidak sama dengan waktu normal.

Hasilnya, memang lahir kebijakan yang luar biasa. Tetapi, kebijakan itu  terkesan ugal-ugalan dan serampangan. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 diterbitkan tanpa banyak cawe-cawe dari DPR RI.

Diktum perubahan atas Perpres Nomor 54 ini ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 24 Juni 2020 dan langsung disetujui DPR RI tanpa perlu melakukan kajian terhadap risikonya. Dalihnya sama: kebijakan extraordinary dibutuhkan di tengah situasi penuh ketidakpastian.

Aturan ini sekaligus menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk memperlebar defisit anggaran melebihi batas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman defisit ditentukan maksimal 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, dengan perubahan atas Perpres Nomor 54, pemerintah boleh melebarkan defisit anggaran lebih dari 3% hingga 2022.

Tahun ini, defisit anggaran telah ditetapkan 6,34% atau Rp1.039,22 triliun. Hingga Juli 2020, defisit anggaran masih menyentuh ambang normal yakni di angka Rp330,2 triliun atau 2,03% dari Produk Domestik Bruto (PDB).