sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Warisan utang Jokowi untuk presiden 2024

Utang rezim Jokowi bakal menjadi bom waktu yang menjegal bakal presiden selanjutnya.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Senin, 14 Sep 2020 10:27 WIB
Warisan utang Jokowi untuk presiden 2024

Extraordinary. Diksi pamungkas ini kerap menjadi dalih pemerintah untuk menentukan kebijakan di tengah pandemi Covid-19. Kebijakan apapun yang dikeluarkan harus atas dasar kondisi luar biasa. Alias tidak sama dengan waktu normal.

Hasilnya, memang lahir kebijakan yang luar biasa. Tetapi, kebijakan itu  terkesan ugal-ugalan dan serampangan. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 diterbitkan tanpa banyak cawe-cawe dari DPR RI.

Diktum perubahan atas Perpres Nomor 54 ini ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 24 Juni 2020 dan langsung disetujui DPR RI tanpa perlu melakukan kajian terhadap risikonya. Dalihnya sama: kebijakan extraordinary dibutuhkan di tengah situasi penuh ketidakpastian.

Aturan ini sekaligus menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk memperlebar defisit anggaran melebihi batas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman defisit ditentukan maksimal 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, dengan perubahan atas Perpres Nomor 54, pemerintah boleh melebarkan defisit anggaran lebih dari 3% hingga 2022.

Tahun ini, defisit anggaran telah ditetapkan 6,34% atau Rp1.039,22 triliun. Hingga Juli 2020, defisit anggaran masih menyentuh ambang normal yakni di angka Rp330,2 triliun atau 2,03% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun, imbas pandemi terhadap perekonomian membuat angka defisit melebihi 3%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pelebaran defisit merupakan pilihan pahit mengingat nominal belanja pemerintah yang kian bengkak lantaran Covid-19. Sesuai Perpres 72 belanja pemerintah tahun ini ditetapkan Rp2.739,17 triliun, berubah dari sebelumnya Rp2.540,42 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat koordinasi kebijakan stimulus ke-2 dampak Covid-19. Foto Antara.

Di sisi lain, pendapatan negara turut dikoreksi, dari sebelumnya Rp2.233,19, menjadi hanya Rp1.699,95 triliun. Penurunan paling besar terjadi pada pos penerimaan perpajakan. Konsekuensinya, proyeksi nilai pembiayaan utang negara tahun ini pun turut terkerek naik dari semula Rp351,85 trilun, melonjak jadi Rp1.220,46 triliun.

Sponsored

“Peningkatan realisasi pembiayaan utang utamanya disebabkan oleh peningkatan kebutuhan belanja prioritas untuk penanganan masalah kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi nasional,” tulis Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, dalam laporan APBN KiTA Agustus 2020.

Rencana pembiayaan utang

Pelbagai cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan tersebut. Salah satunya dengan menerbitkan surat utang negara (SUN) terlama sepanjang sejarah bertajuk global bond

Surat utang seri RI0470 sebesar US$1 miliar itu diterbitkan pada 7 April 2020 dengan tenor hingga 50 tahun. Tenggat utang ini akan jatuh tempo pada 15 April 2070 dengan nilai yield 4,5%. 

Di saat bersamaan, pemerintah juga turut menerbitkan surat utang bertenor 10,5 tahun seri RI1030 sebesar US1,65 miliar dengan yield 3,9%. Plus seri RI1050 senilai US$1,65 miliar dengan tenor 30,5 tahun dan yield 4,25%.

“Penerbitan tenor 50 tahun kali ini (yield) justru lebih rendah dibandingkan dengan tenor 10 tahun pada penerbitan 2018,” terang Ani. 

Diketahui, nilai yield global bond bertenor 10 tahun pada masa itu berada pada kisaran 3,6%-4,78%. Di samping itu, pemerintah juga telah menandatangani perjanjian utang kepada Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) senilai US$1 miliar atau setara Rp15 triliun (kurs Rp15.003) dan pinjaman dari World Bank (Bank Dunia) US$650 juta setara Rp9,75 triliun. 

Selain itu, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan sebagai UU Nomor 2 Tahun 2020, pemerintah juga mempersilahkan Bank Indonesia (BI) untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) melalui pasar perdana.

Dalam hal ini, BI akan berperan sebagai the lender of the last resort atau pembeli terakhir apabila target lelang SBN tidak tercapai. BI akan masuk sebagai competitive bidding dengan jumlah maksimal pembelian 25% dari total SBN yang dilelang.

Peran BI ini lah yang membuat pemerintah mengurungkan niat menerbitkan surat utang khusus penanganan pandemi Coronavirus (Covid-19) atau Pandemic Bond

"Saat ini sudah disepakati above the line, kita nggak menerbitkan bond khusus baik Pandemic Bond atau yang lainnya. Karena BI akan masuk ke pasar perdana sebagai last resort," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman ketika memberikan penjelasan dalam video conference, Jumat (8/5/2020) lalu.

Baru-baru ini, aturan itu kembali mendapat peremajaan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Kedua antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI, serta Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu dan Deputi Gubernur BI.

Perjanjian yang ditandatangani pada Juli 2020 lalu itu menyebutkan bahwa negara dan BI akan berbagi beban (burden sharing) atas utang pemerintah selama masa pandemi. Mekanisme tanggung renteng ini akan dibagi berdasarkan kelompok pengunaan pembiayaannya, untuk public goods dan non-public goods.

Ada tiga skenario pembiayaan yang bisa dilakukan. Pertama, BI akan membeli Rp574,59 triliun SBN non-public goods dengan imbalan sebesar BI reverse repo rate dikurangi diskon 1%. Tenor berlaku hanya tiga bulan.

Kedua, BI membeli SBN khusus pendanaan APBN public goods dengan total Rp397,56 triliun. Imbalannya sesuai BI reverse repo rate dengan tenor tiga bulan. Ketiga, pemerintah menerbitkan Zero Coupon Bonds untuk pendanaan public goods Rp397,56 triliun. Skenario ini memungkinkan BI membeli SBN 2020 dengan bunga 0% dan tenor 5 tahun.

Semula, skema tanggung renteng ini hanya akan berlaku hingga akhir 2020. Tetapi belakangan, Sri Mulyani kembali menegaskan bahwa mekanisme burden sharing antara BI dan pemerintah akan berlangsung hingga 2022.

“BI sebagai pembeli siaga atau standby buyer melalui lelang SBN pemerintah, dan itu berlangsung sampai 2022,” tutur Sri Mulyani, Jumat (4/9).

Hingga Agustus 2020 BI telah menyerap SBN dari pasar perdana sebesar Rp125,06 triliun. Jumlah ini membuat posisi kepemilikan BI terhadap SBN hingga 14 Agustus 2020 yang mencapai Rp536,67 triliun.

“BI telah membeli SBN di pasar perdana yang melalui SKB 16 April sebesar Rp42,97 triliun. Sementara untuk mekanisme SKB 7 Juli (2020) RP82,1 triliun,” beber Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Agustus lalu.

Rasio utang

Sementara itu, berdasarkan data APBN KiTa edisi Agustus 2020, realisasi pembiayaan utang Indonesia hingga Juli telah mencapai Rp519,22 triliun. Realisasinya terdiri dari penyerapan SBN Rp513,4 triliun, utang luar negeri (ULN) Rp5,17 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp634,9 miliar.

Dengan realisasi ini, posisi utang Indonesia per Juli 2020 telah menyentuh Rp5.434,86 triliun. Utang tersebut terdiri dari SBN Rp4.596,6 triliun, pinjaman Rp10,53 triliun, dan ULN Rp828,07 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan, posisi utang pada Agustus 2020 telah bertambah. Namun, belum diketahui berapa total penambahannya. Hanya yang pasti, rasio utang terhadap PDB telah naik menjadi 34,53% dari sebelumnya 33,63% pada Juli 2020.

“Untuk rasio utang terhadap PDB, ada angka terakhir sampai Agustus 2020 adalah 34,53%,” tukas Suahasil saat memberikan paparan di kompleks parlemen, Senin, (7/9).

Sampai akhir tahun, rasio utang terhadap PDB diproyeksi bakal menyentuh 37,6%, naik 7,6% dari 2019 yang berada pada level 30,2%. Angka ini masih di bawah batas aman yang ditentukan dalam UU Keuangan Negara, yakni 60%.

Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Luky Alfirman menambahkan, kenaikan rasio utang ini juga masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Dia mengutip data International Monetary Found (IMF) per Juni 2020 yang menunjukkan, kenaikan rasio utang negara-negara maju meroket pada kisaran 12,2%-32,8%.

Direktur Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman. Foto Dokumentasi.

“Misalnya Inggris dengan kenaikan rasio utang 16,2%, Jepang 30%, dan Amerika Serikat meningkat 32,7% (dibandingkan posisi 2019),” ungkap Luky melalui keterangan tertulis kepada Alinea.id, (11/9).

Bom waktu

Terlepas itu, Indonesia sejatinya masih membutuhkan tambahan pembiayaan utang untuk menggenapi target anggaran hingga akhir tahun. Pada semester II, kebutuhan utangnya diperkirakan masih sekitar Rp797,4 triliun. Kebutuhan pembiayaan ini 91% akan berasal dari SBN dan 9% dari pinjaman dalam negeri maupun ULN.

Sejauh ini, nilai yield (imbal hasil) SBN Indonesia cenderung lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. Per 11 September 2020, SBN 10 tahun di Indonesia menawarkan imbal hasil 6,97%. Sedangkan di waktu yang sama, yield surat utang 10 tahun di Filipina hanya 3,1%, Singapura (0,93%), Malaysia (2,64%), dan India (6,04%).

Menurut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini, nilai imbal hasil yang cukup tinggi ini kelak akan menjadi ‘palu godam’ bagi presiden mendatang. Segunung utang yang ditimbun Jokowi saat ini akan mematikan langkah presiden baru di 2024.

“Mohon maaf dalam bahasa saya, pemerintah ini bersifat ugal-ugalan soal kebijakan utang,” kritik Didik dalam webinar bertajuk Politik APBN dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Rabu (2/9).

Pemerintah saat ini, sambung Didik, telah terperangkap dalam jerat utang yang berbahaya. Bunga utang Indonesia akan menjadi bola salju yang terus bergulung dan semakin membesar seiring berjalannya waktu.

Tahun ini saja, bunga utang Indonesia telah mencapai Rp338,8 triliun atau setara 17% dari APBN 2020. Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10%. Sementara utang pokok Indonesia diperkirakan telah menyentuh Rp475 triliun. Sehingga setiap tahunnya, Indonesia harus membayar utang sekitar Rp750-800 triliun.

“Beberapa tahun ke depan harus membayar, perkiraan sampai Rp1.000 triliun,” ungkap Didik melalui pesan singkat kepada Alinea.id, pekan lalu.

Akibat kebijakan utang yang sembrono ini, debt service ratio (DSR) Indonesia pun turut terkerek naik. Data Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) semester I 2020 menunjukkan, DSR tier-1 Indonesia telah mencapai 29,5%. Angka ini telah melewati batas aman DSR yang ditetapkan IMF sebesar 25%.

DSR tier-1 merupakan indikasi penambahan ULN yang tidak disertai dengan peningkatan kinerja ekspor dan komponen penambahan devisa lainnya. Dengan DSR di atas 25% itu, artinya jumlah utang Indonesia kini sudah masuk pada tingkat waspada.

Utang pemerintah semakin mengkhawatirkan jika melihat keseimbangan primer (KP) yang tahun ini dipatok minus Rp700,43 triliun. Ini artinya, negara harus membayar utang dengan utang lagi sebesar angka defisit tersebut. Dalam kata lain, gali lubang tutup lubang.

KP yang kian tinggi ini akan menjadi bumerang bagi perekonomian nasional pada 2023. Saat itu, defisit anggaran harus kembali disesuaikan dengan UU Keuangan Negara sebesar 3%. Artinya, pemerintah harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar utang pokok dan bunga utang dengan menggunakan APBN yang tersedia.

Masalahnya, uang dari mana? Sedangkan rasio pajak Indonesia hingga saat ini saja masih di kisaran 10%. Lalu, ruang fiskal yang tersedia dari APBN hanya 8%. Sisanya, 92% sudah terikat beban pokok atau mandatory spending.

“Harusnya (rasio pajak) bisa digenjot 16-20%,” kritik Hendrawan Supratikno, Anggota Komisi XI DPR RI, saat dihubungi Alinea.id belum lama ini.

Problemnya lagi, risiko besar ini diambil untuk sesuatu yang hasilnya sama sekali tidak efektif. Upaya meredam dampak Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menjadi dalih pemerintah berutang masih belum menunjukkan hasil maksimal.

Per 13 September 2020, kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 218.382 orang. Indonesia bahkan menjadi negara dengan tingkat kasus positif terbanyak kedua di Asia Tenggara, di bawah Filipina dengan 248.947 kasus.

Hingga hari yang sama, 8.723 orang telah meninggal dunia karena Covid-19 di Indonesia. Termasuk di dalamnya, 115 dokter turut menjadi korban dan ribuan tenaga medis positif Covid-19.

Sementara realisasi anggaran PEN hingga 2 September 2020, baru terserap Rp237 triliun atau 34% dari total anggaran Rp695,2 triliun. Penyerapan anggaran sektor kesehatan terserap 31,6% dari alokasi Rp87,5 triliun. Sedangkan realisasi anggaran sektoral Pemerintah Daerah (Pemda) baru terserap 27,8% dari total Rp106 triliun.

RAPBN 2021

Namun, meski kurang efektif, pemerintah rupanya masih akan tetap melanjutkan pembiayaan APBN melalui utang pada tahun depan. Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, (11/9), Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan, jumlah utang dalam postur RAPBN 2021 direncanakan Rp1.177,4 triliun, naik dari patokan awal Rp1.142 triliun.

Defisit anggaran terhadap PDB pun kembali diperlebar menjadi 5,7% atau Rp1.006,4 triliun, naik Rp35,2 triliun atau 0,2% dari rencana awal di RAPBN 2021. Defisit ini diambil untuk memenuhi KP yang diproyeksikan minus Rp633,1 triliun, melebar dari proyeksi awalnya minus Rp597,9 triliun.

Defisit anggaran dan pembiayaan sejak tahun 2014
Tahun Defisit APBN Pembiayaan APBN
2014 Rp226,7 triliun Rp255,7 triliun
2015 Rp298,5 triliun Rp380,9 triliun
2016 Rp308,3 triliun Rp403 triliun
2017 Rp330,2 triliun Rp384,7 triliun
2018 Rp269,4 triliun Rp399,2 triliun
2019 Rp353 triliun Rp435,4 triliun
2020 (prediksi) Rp1.039,20 triliun Rp1.220,50 triliun
2021 (prediksi) Rp1.006,40 triliun Rp1.177,40 triliun

Tingginya defisit KP ini juga tidak lepas dari tingginya target belanja negara pada 2021 yang menyentuh Rp2.750 triliun. Sedangkan pendapatan negara diproyeksikan bakal melempem menjadi Rp1.743,7 triliun, turun Rp32,7 triliun dari target sebelumnya Rp1.776,4 triliun.

Di luar itu, beban bunga utang juga turut membengkak dari sebelumnya Rp338,8 triliun menjadi Rp373,3 triliun. Pembayaran bunga utang itu terdiri dari bunga utang dalam negeri Rp355,1 triliun dan pembayaran bunga ULN Rp18,51 triliun.

Sementara di sisi lain, target penerimaan pajak telah disepakati Rp1.229,6 triliun, turun Rp38,9 triliun dari rencana awal Rp1.268,4 triliun. Menurut Ani, koreksi dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penerimaan pajak 2020 yang tidak mencapai target dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2020 senilai Rp1.198,8 triliun.

“Dengan basis tahun 2020 yang lebih rendah menyebabkan implicit growth menjadi sangat tinggi, yaitu mendeteksi 18%. Padahal, tahun 2021 kita masih melihat ketidakpastian ekonomi yang cukup besar,” pungkas Ani.

Berita Lainnya
×
tekid