Yang tersisa dari penggunaan telepon pintar

Indonesia memerlukan pengelolaan sampah elektronik, termasuk telepon seluler dengan lebih serius.

Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.

Dunia teknologi, telepon seluler (ponsel) khususnya memang terbilang dinamis. Seiring berjalannya waktu, pengguna ponsel terus bertambah. Bagaimana tidak, ponsel yang didominasi ponsel pintar alias smartphone kini bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi semata, melainkan juga sekaligus sebagai gaya hidup, tren, hingga untuk menunjukkan prestise seseorang.

Perkembangan pengguna telepon seluler ini terlihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dirilis Badan Pusat Statistik. Tahun 2021 tercatat sekitar 65,87% penduduk Indonesia menggunakan ponsel. Padahal, pada tahun 2011 baru 39,19% penduduk yang menggunakan alat komunikasi nirkabel ini.

Sementara itu, berdasar data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga akhir tahun lalu ada sebanyak 365,87 juta pelanggan telepon seluler. Jumlah ini naik 2,88% dari tahun 2020 yang hanya sebanyak 355,62 juta pelanggan.

“Kenaikan pesat ini selain karena memang penduduk Indonesia yang banyak, juga karena penduduk kita banyak yang punya lebih dari satu handphone (HP). Durasi penggunaan ponsel oleh pengguna juga cukup singkat, paling cuma satu dua tahun, ketika ada HP baru keluar, ganti,” jelas Pengamat gawai dari Komunitas Gadtorade Lucky Sebastian, kepada Alinea.id, Kamis (27/10).

Pada 2019 lalu, Samsung Indonesia pernah mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia cenderung mengganti ponsel level flagship (model unggulan) setelah dua tahun masa pemakaian. Sedangkan di bawah level flagship rata-rata hanya berkisar 1,5-2 tahun masa pemakaian.