Ahli beberkan hambatan reformasi demokrasi di Malaysia

Ketergantungan masyarakat Malaysia pada PM Mahathir dinilai telah membatasi gagasan untuk memiliki visi alternatif di masa depan.

(kiri) Profesor ilmu politik dan direktur bidang Asia di John Cabot University, Bridget Welsh, dan (tengah) ketua hubungan internasional Freiburg University, Jurgen Ruland, di acara diskusi

Profesor ilmu politik dan direktur bidang Asia di John Cabot University, Bridget Welsh, mengatakan bahwa pemerintahan Mahathir Mohamad saat ini tengah berupaya melakukan reformasi menuju negara yang lebih demokratis. Kendati demikian, proses tersebut menghadapi sejumlah hambatan.

"Warga Malaysia melihat reformasi sebagai hal yang dikaitkan dengan individu, mereka memiliki mentalitas 'juru selamat'. Kini Mahathir sedang dibebankan dengan titel itu," jelas Welsh dalam acara diskusi "Building Democracy in Malaysia: Challenges, Prospects, and Regional Implications" di Habibie Center, Jakarta, Senin (11/3).

Masyarakat Malaysia, lanjutnya, terlalu bergantung pada PM Mahathir, pria berusia 93 tahun yang pengalamannya berasal dari masa lalu. Menurutnya, hal itu membatasi gagasan untuk memiliki visi alternatif di masa depan.

Tantangan selanjutnya, menurut Welsh, adalah perbedaan ideologi yang berada di Pakatan Harapan, koalisi terbesar yang berkuasa di Malaysia. 

Koalisi tersebut terdiri dari partai yang cenderung berideologi tengah atau kiri.