sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ahli beberkan hambatan reformasi demokrasi di Malaysia

Ketergantungan masyarakat Malaysia pada PM Mahathir dinilai telah membatasi gagasan untuk memiliki visi alternatif di masa depan.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 12 Mar 2019 13:51 WIB
Ahli beberkan hambatan reformasi demokrasi di Malaysia

Profesor ilmu politik dan direktur bidang Asia di John Cabot University, Bridget Welsh, mengatakan bahwa pemerintahan Mahathir Mohamad saat ini tengah berupaya melakukan reformasi menuju negara yang lebih demokratis. Kendati demikian, proses tersebut menghadapi sejumlah hambatan.

"Warga Malaysia melihat reformasi sebagai hal yang dikaitkan dengan individu, mereka memiliki mentalitas 'juru selamat'. Kini Mahathir sedang dibebankan dengan titel itu," jelas Welsh dalam acara diskusi "Building Democracy in Malaysia: Challenges, Prospects, and Regional Implications" di Habibie Center, Jakarta, Senin (11/3).

Masyarakat Malaysia, lanjutnya, terlalu bergantung pada PM Mahathir, pria berusia 93 tahun yang pengalamannya berasal dari masa lalu. Menurutnya, hal itu membatasi gagasan untuk memiliki visi alternatif di masa depan.

Tantangan selanjutnya, menurut Welsh, adalah perbedaan ideologi yang berada di Pakatan Harapan, koalisi terbesar yang berkuasa di Malaysia. 

Koalisi tersebut terdiri dari partai yang cenderung berideologi tengah atau kiri.

"Partai-partai dalam koalisi itu memiliki pandangan yang sangat berbeda terkait sejumlah hal termasuk ekonomi," tuturnya. "Koalisi itu sangat besar, kompleks, dan terpecah secara ideologis."

Akibat pandangan yang berbeda, Welsh menilai Pakatan Harapan tidak dapat konsisten menentukan ideologi politik mana yang perlu diprioritaskan dalam koalisi itu sendiri dan dicerminkan ke masyarakat.

Tantangan terakhir merupakan pola pikir masyarakat yang cenderung belum berkembang. Pasalnya, meski mayoritas pemilih di sana berusia di bawah 35 tahun, namun pola pikir mereka belum modern atau progresif.

Sponsored

"Anak muda tidak sabar ingin melihat reformasi begitu Mahathir menjabat. Padahal tidak begitu, butuh waktu," kata dia.

Sedangkan menurut Welsh, sebagian besar masyarakat Malaysia pun tidak merangkul reformasi demokratis karena hanya 30% dari masyarakat yang memegang paham liberal. Sebesar 30% sangat konservatif. Kondisi itu, lanjutnya, berpotensi menimbulkan narasi perpecahan.

"Ini tantangan yang sangat besar bagi pemerintahan Mahathir, yaitu untuk mengubah harapan masyarakat dan membuat mereka mengerti bahwa perubahan membutuhkan waktu," lanjutnya.

Welsh menyebut, ada sejumlah area yang hingga kini belum berhasil tersentuh reformasi PM Mahathir, salah satunya adalah ekonomi.

"Tidak ada reformasi ekonomi yang substansial. Ekonomi ilegal masih merajalela, setidaknya 20% dari ekonomi Malaysia berasal dari sektor yang tidak transparan dan pemerintah belum melakukan apa pun untuk mengatasi itu," jelas Welsh.

Selain itu, area lainnya adalah lembaga agama negara yang juga tidak banyak disentuh dan upaya minim Kuala Lumpur untuk berurusan dengan sektor keamanan domestik.

Kendati demikian, Welsh menilai ada sejumlah area yang mengalami perubahan substantif dan cukup bermakna dalam era Mahathir. Yang pertama merupakan pemberdayaan masyarakat yang signifikan sejak pemilu pada 9 Mei 2018.

Masyarakat kini merasa bahwa mereka dapat berpartisipasi dan membuat perbedaan. Mereka juga berpartisipasi membangun komunitas masyarakat sipil.

Salah satunya adalah munculnya sejumlah gerakan antikorupsi yang menurut Welsh, menjadi tonggak penting dalam menanggapi isu korupsi regional.

"Sepertinya masyarakat mulai sadar bahwa korupsi adalah masalah besar dan mengakar setelah skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang melibatkan Najib Razak akhirnya menyeruak ke permukaan," ungkapnya.

Gerakan tersebut, jelas Welsh, muncul karena adanya regenerasi masyarakat sipil.

Pada Pemilu 2008, banyak aktivis yang terjun ke dunia politik. Akibatnya, butuh waktu yang lama bagi komunitas masyarakat sipil untuk beregenerasi.

"Sekarang di masa pemerintahan Mahathir, kita lebih banyak melihat aktivisme. Ini mencerminkan perubahan dalam masyarakat yang dapat mendorong ekspansi demokrasi," ungkapnya.

Selain pemberdayaan masyarakat, ada pula perubahan kelembagaan yang penting seperti pemberdayaan parlementer. Kemudian adanya liberalisasi media yang cukup besar. Akibatnya, banyak topik penting yang menjadi bahan diskusi di publik.

"Di Malaysia, media arus utama dulu dilihat sebagai perpanjangan tangan pemerintah saja, sekarang di era Mahathir, lebih banyak diversifikasi. Ini merupakan proses yang penting," jelas dia.

Welsh pun memuji Mahathir karena merangkul isu inklusi dalam jajaran pemerintahannya. Dia memaparkan, pemerintah Malaysia saat ini memiliki inklusi gender, generasi, dan etnis paling banyak dari seluruh masa pemerintahan sebelumnya.

"Adanya keterlibatan yang lebih kuat dari pemerintah dengan menyertakan banyak tokoh di masyarakat, berbeda dengan masa lalu yang lebih eksklusif," ujar Welsh.

Welsh mengatakan, walaupun ada sejumlah area yang perlahan mengalami reformasi, tetapi dia melihat adanya warisan pemerintah Malaysia sebelumnya yang telah membatasi ruang bagi pemerintahan yang lebih demokratis.

"Situasi sekarang memiliki batasan pada reformasi demokrasi, ada hambatan yang berasal dari dalam Pakatan itu sendiri, tetapi ada pula yang berasal dari masyarakat," jelasnya.

Penulis buku "Democracy Denied: An Analysis of Malaysia's GE13" itu menuturkan hambatan-hambatan yang ada telah membuat proses reformasi berjalan lambat dan tidak merata. "Perlu diingat ini adalah pemerintahan yang baru menjabat selama 10 bulan, ini adalah proses berkelanjutan dan membutuhkan waktu."

Berita Lainnya
×
tekid