Kasus Covid-19 di Singapura melonjak, mengapa di Indonesia nyaris tidak terdengar?
Kasus infeksi Covid-19 melonjak di Singapura, Thailand, Hong Kong, dan China. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Aji Muhawarman menerangkan, berdasarkan pemantauan hingga minggu ke-19 2025, kondisi penularan virus di Indonesia masih dalam batas aman.
“Surveilans penyakt menular, termasuk Covid-19, terus kami perkuat, baik melalui sistem sentinel maupun pemantauan di pintu masuk negara,” kata Aji dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (19/5), dikutip dari Antara.
Menurut epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, subvarian Covid-19 yang menyebar di kawasan Asia Tenggara, terutama Singapura, adalah LF.7 dan NB.1.8, yang merupakan turunan dari varian JN.1. Katanya, ini adalah sub-garis keturunan dari BA.2.86 atau Pirola.
“Ini adalah anggota keluarga Omicron,” kata Dicky kepada Alinea.id, Minggu (25/5).
Penyebab kasus melonjak
Di Singapura, jumlah kasus Covid-19 pada 27 April hingga 3 Mei 2025 meningkat menjadi 14.200 kasus, dibandingkan pada minggu sebelumnya, yakni 11.100 kasus. Dicky mengatakan, mutasi-mutasi virus ini kemungkinan besar yang membuat varian tersebut unggul dalam penularan dan kemampuan menghindari antibodi.
“Inilah yang menjawab kenapa kasusnya menjadi banyak. Karena lebih unggul dalam penularan, mampu melekat pada ACE2 (Angiotensin converting enzyme 2, yakni enzim yang menempel pada permukaan luar sel-sel paru-paru, jantung, ginjal, dan usus) manusia, dan menghindari antibodi,” ujar Dicky.
“Terutama jika vaksinasi sudah dilakukan cukup lama sebelumnya.”
Meski begitu, Dicky menilai, tingkat risiko terhadap rawat inap dan kematian masih relatif rendah, jika dibandingkan dengan gelombang awal pandemi.
Ke depan, Dicky memprediksi, kemungkinan besar akan terus muncul varian baru virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Sebab, ada replikasi virus yang terus berlangsung di sebagian populasi dunia dan tekanan seleksi imunologis dari vaksin atau infeksi sebelumnya. Potensi mutasi ini bisa melahirkan varian yang lebih menular dan sedikit lebih kebal terhadap imun tubuh.
“Namun, kemungkinan besar, tetap dengan gejala ringan kecuali terjadi mutasi besar, yang kemungkinannya sangat kecil,” kata Dicky.
“Sejak Omicron muncul, belum ada varian yang menyebabkan penyakit lebih berat.”
Akan tetapi, dia mengingatkan, kemungkinan rekombinasi antara subvarian SARS-CoV-2 bisa terjadi. Terutama jika seseorang terinfeksi dua varian atau subvarian yang berbeda dalam waktu bersamaan. Dia menjelaskan, rekombinasi antar-virus juga memungkinkan karena struktur genomnya yang kompatibel, misalkan SARS-CoV-2 dengan Osepa-3 atau HKU-1.
Secara teoretis, menurut Dicky, ini memungkinkan. Namun, rekombinasi antara SARS-CoV-2 dan influenza A atau B sangat kecil kemungkinannya karena perbedaan struktur virus, tetapi koinfeksi yang terjadi bersamaan bisa saja terjadi dan dapat serius secara klinis.
“Jadi, jika berbicara tentang risiko ke depan dari Covid-19, risiko terbesar bukan dari persilangan antar-virus, melainkan mutasi besar akibat tekanan evolusi dan populasi rentan,” kata Dicky.
Mengapa kasus di Indonesia rendah?
Lebih lanjut, Dicky menjelaskan, tes dan surveilans di Singapura berbasis fasilitas kesehatan dan pelaporan mandiri. Kesadaran masyarakat yang tinggi, membuat deteksi lebih efektif. Selain itu, Singapura menjalankan surveilans genom yang aktif, dengan 5% hingga 10% dari kasus disequencing (pemisahan urutan).