close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Covid-19 dari pandemi ke endemi. Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi Covid-19 dari pandemi ke endemi. Alinea.id/Aisya Kurnia.
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Jumat, 30 Mei 2025 06:06

Ancaman penularan Covid-19 masih ada

Kasus Covid-19 di Singapura melonjak, mengapa di Indonesia nyaris tidak terdengar?
swipe

Kasus infeksi Covid-19 melonjak di Singapura, Thailand, Hong Kong, dan China. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Aji Muhawarman menerangkan, berdasarkan pemantauan hingga minggu ke-19 2025, kondisi penularan virus di Indonesia masih dalam batas aman.

“Surveilans penyakt menular, termasuk Covid-19, terus kami perkuat, baik melalui sistem sentinel maupun pemantauan di pintu masuk negara,” kata Aji dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (19/5), dikutip dari Antara.

Menurut epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, subvarian Covid-19 yang menyebar di kawasan Asia Tenggara, terutama Singapura, adalah LF.7 dan NB.1.8, yang merupakan turunan dari varian JN.1. Katanya, ini adalah sub-garis keturunan dari BA.2.86 atau Pirola.

“Ini adalah anggota keluarga Omicron,” kata Dicky kepada Alinea.id, Minggu (25/5).

Penyebab kasus melonjak

Di Singapura, jumlah kasus Covid-19 pada 27 April hingga 3 Mei 2025 meningkat menjadi 14.200 kasus, dibandingkan pada minggu sebelumnya, yakni 11.100 kasus. Dicky mengatakan, mutasi-mutasi virus ini kemungkinan besar yang membuat varian tersebut unggul dalam penularan dan kemampuan menghindari antibodi.

“Inilah yang menjawab kenapa kasusnya menjadi banyak. Karena lebih unggul dalam penularan, mampu melekat pada ACE2 (Angiotensin converting enzyme 2, yakni enzim yang menempel pada permukaan luar sel-sel paru-paru, jantung, ginjal, dan usus) manusia, dan menghindari antibodi,” ujar Dicky.

“Terutama jika vaksinasi sudah dilakukan cukup lama sebelumnya.”

Meski begitu, Dicky menilai, tingkat risiko terhadap rawat inap dan kematian masih relatif rendah, jika dibandingkan dengan gelombang awal pandemi.

Ke depan, Dicky memprediksi, kemungkinan besar akan terus muncul varian baru virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Sebab, ada replikasi virus yang terus berlangsung di sebagian populasi dunia dan tekanan seleksi imunologis dari vaksin atau infeksi sebelumnya. Potensi mutasi ini bisa melahirkan varian yang lebih menular dan sedikit lebih kebal terhadap imun tubuh.

“Namun, kemungkinan besar, tetap dengan gejala ringan kecuali terjadi mutasi besar, yang kemungkinannya sangat kecil,” kata Dicky.

“Sejak Omicron muncul, belum ada varian yang menyebabkan penyakit lebih berat.”

Akan tetapi, dia mengingatkan, kemungkinan rekombinasi antara subvarian SARS-CoV-2 bisa terjadi. Terutama jika seseorang terinfeksi dua varian atau subvarian yang berbeda dalam waktu bersamaan. Dia menjelaskan, rekombinasi antar-virus juga memungkinkan karena struktur genomnya yang kompatibel, misalkan SARS-CoV-2 dengan Osepa-3 atau HKU-1.

Secara teoretis, menurut Dicky, ini memungkinkan. Namun, rekombinasi antara SARS-CoV-2 dan influenza A atau B sangat kecil kemungkinannya karena perbedaan struktur virus, tetapi koinfeksi yang terjadi bersamaan bisa saja terjadi dan dapat serius secara klinis.

“Jadi, jika berbicara tentang risiko ke depan dari Covid-19, risiko terbesar bukan dari persilangan antar-virus, melainkan mutasi besar akibat tekanan evolusi dan populasi rentan,” kata Dicky.

Mengapa kasus di Indonesia rendah?

Lebih lanjut, Dicky menjelaskan, tes dan surveilans di Singapura berbasis fasilitas kesehatan dan pelaporan mandiri. Kesadaran masyarakat yang tinggi, membuat deteksi lebih efektif. Selain itu, Singapura menjalankan surveilans genom yang aktif, dengan 5% hingga 10% dari kasus disequencing (pemisahan urutan).

Lingkungan kota di Singapura yang padat penduduk dan mobilitas tinggi, juga mempercepat penyebaran subvarian Covid-19. Intinya, ujar Dicky, lonjakan kasus di Singapura merupakan gabungan dari peningkatan penularan subvarian Covid-19 dan tingkat pengujian serta pelaporan yang tinggi.

“Sedangkan di Indonesia, rendahnya jumlah kasus (Covid-19) lebih disebabkan karena minimnya tes. Laporan WHO menyebutkan, hanya ada sekitar tiga kasus dalam periode Mei,” ucap Dicky.

Situasi ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, kata Dicky, tes tidak lagi gratis. Masyarakat cenderung enggan melakukan tes, lebih memilih memenuhi kebutuhan pokok. Kedua, tidak ada dukungan atau keharusan untuk tes, ditambah literasi kesehatan masyarakat yang masih rendah.

“Banyak yang memilih mengobati sendiri, tanpa ke fasilitas kesehatan. Bahkan tidak menganggap tes itu penting,” ujar Dicky.

Ketiga, pemerintah sangat minim melakukan survailans genom terkait Covid-19. Jauh tertinggal dibanding negara tetangga.

“Jadi rendahnya data di Indonesia lebih merefleksikan rendahnya testing dan pelaporan, bukan karena tidak ada kasus,” tutur Dicky.

Dicky mengatakan, mutasi virus menjadi pengingat dunia belum sepenuhnya terbebas dari ancaman pandemi. Meski berbagai upaya sudah dilakukan. Keterbatasan dalam riset vaksin, sistem deteksi, dan pengawasan, kata dia, masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia dan dunia.

“Vaksin masih memberikan perlindungan yang signifikan terhadap keparahan, terutama jika vaksinnya sudah diperbarui,” kata Dicky.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Hariadi Wibisono menegaskan, Covid-19 belum sepenuhnya pergi. Risiko penularan masih tinggi di lingkungan padat dan dengan mobilitas tinggi.

“Virus ini tetap ada dalam bentuk endemik, dengan penularan yang fluktuatif,” ujar Hariadi, Minggu (25/5).

Menurut Hariadi, indikator awal lonjakan kasus adalah peningkatan fluktuasi jumlah kasus dan masuknya pasien ke rumah sakit dengan gejala berat. Dia mengajak masyarakat tetap waspada.

“Yang berakhir adalah status pandemi, bukan virusnya,” tutur Hariadi.

“Protokol kesehatan masih relevan. Jaga jarak, pakai masker di tempat ramai, dan cuci tangan tetap efektif.”

img
Ikhsan Bilnazari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan