Teori konspirasi ‘I will not eat the bugs’ menuding elit global memaksa publik makan serangga. Ini asal-usulnya, faktanya, dan dampaknya.
Sepanjang sejarah manusia, serangga sudah jadi menu makanan. Salah satu penggambaran paling awal tentang entomofagi (memakan serangga) berasal dari 30.000 tahun SM pada lukisan gua Altamira di Spanyol utara yang menunjukkan kegiatan mengumpulkan lebah.
Kini, banyak masyarakat di Amerika Latin, Asia, dan Afrika secara rutin mengonsumsi serangga. Di Meksiko, misalnya, belalang rebus dan goreng, “chapulines”, menjadi camilan bar populer dan bahkan kian sering hadir di restoran kelas atas.
Di Indonesia sendiri, tradisi makan serangga terdapat di berbagai daerah, seperti di Gunungkidul, DIY. Bukan hanya untuk bertahan hidup, sejumlah warga di Gunungkidul memakan belalang, jangkrik, laron sebagai bagian dari tradisi. Di Papua, warga juga mengkategorikan ulat sagu sebagai menu makanan sehari-hari.
Namun, tidak semua orang mau mencicipi binatang itu. Meski serangga sejak lama dianggap sumber protein yang murah, sehat, dan berkelanjutan, ia masih jarang ada di meja makan warga Amerika Serikat dan Eropa.
Beberapa tahun terakhir, keraguan ini diperburuk oleh jaringan teori konspirasi yang mengklaim bahwa “elite global” memaksa masyarakat meninggalkan daging demi serangga. Disinformasi ini menutupi riset ilmiah sah tentang serangga sebagai sumber protein dan ramah iklim.