“Saya tidak akan makan serangga”: Dari tradisi kuno hingga teori konspirasi modern
Sepanjang sejarah manusia, serangga sudah jadi menu makanan. Salah satu penggambaran paling awal tentang entomofagi (memakan serangga) berasal dari 30.000 tahun SM pada lukisan gua Altamira di Spanyol utara yang menunjukkan kegiatan mengumpulkan lebah.
Kini, banyak masyarakat di Amerika Latin, Asia, dan Afrika secara rutin mengonsumsi serangga. Di Meksiko, misalnya, belalang rebus dan goreng, “chapulines”, menjadi camilan bar populer dan bahkan kian sering hadir di restoran kelas atas.
Di Indonesia sendiri, tradisi makan serangga terdapat di berbagai daerah, seperti di Gunungkidul, DIY. Bukan hanya untuk bertahan hidup, sejumlah warga di Gunungkidul memakan belalang, jangkrik, laron sebagai bagian dari tradisi. Di Papua, warga juga mengkategorikan ulat sagu sebagai menu makanan sehari-hari.
Namun, tidak semua orang mau mencicipi binatang itu. Meski serangga sejak lama dianggap sumber protein yang murah, sehat, dan berkelanjutan, ia masih jarang ada di meja makan warga Amerika Serikat dan Eropa.
Beberapa tahun terakhir, keraguan ini diperburuk oleh jaringan teori konspirasi yang mengklaim bahwa “elite global” memaksa masyarakat meninggalkan daging demi serangga. Disinformasi ini menutupi riset ilmiah sah tentang serangga sebagai sumber protein dan ramah iklim.
"Di Amerika Serikat dan kantong-kantong Eropa, teori konspirasi 'I will not eat the bugs' menuduh elite global akan memaksa massa makan serangga dengan dalih lingkungan hidup," kata analis disinformasi Sara Aniano seperti dikutip dari BBC Futures, Kamis (11/9).
Aniano, yang meneliti teori ini di Anti-Defamation League’s Center on Extremism, mengatakan narasi itu cocok dengan ketakutan yang sudah ada tentang “kemerosotan moral peradaban Barat”. Apa yang awalnya meme semi-satir di forum daring kini merembes ke pinggiran politik Eropa dan AS.
Di Belanda, misalnya, anggota parlemen dan pemimpin partai sayap kanan Forum for Democracy Thierry Baudet dalam pidato anti-Uni Eropa pada Maret 2023 berteriak “No way!” sambil menuang ulat emas dari sebuah kantong. Ia kemudian mengunggah fotonya di X dengan keterangan “WE WILL NOT EAT THE BUGS”.
Partai sayap kanan Italia Lega per Salvini Premier membayar papan reklame di Conegliano, Italia, bertuliskan “Mari ubah Eropa sebelum Eropa mengubah kita” bersama tanggal pemilu Uni Eropa 2024 — di samping foto close-up seseorang sedang makan belalang.
Sebelum dipecat oleh Fox News pada 2023, pembawa acara Tucker Carlson menayangkan episode terakhir program streaming Tucker Carlson Originals berjudul “Let Them Eat Bugs”.
Mengulas kebijakan pangan terkait iklim, Carlson mengklaim “orang-orang yang berkuasa” sedang mendorong masyarakat makan serangga. Episode itu menampilkan aktivis sayap kanan Belanda Eva Vlaardingerbroek, yang menyebut konsumsi serangga sebagai “uji kepatuhan” dari pemerintah,
“Saya tak akan serangga adalah sebuah meme. Sekarang, itu adalah sebuah gerakan,” kata Carlson dalam sebuah wawancara.
Tokoh sayap kanan AS lain seperti Alex Jones, Candace Owens, dan influencer Jack McGuire juga menyebarkan teori konspirasi itu.
Dari mana ketakutan palsu dipaksa makan serangga ini berasal? Jawabannya mungkin berasal dari musim semi 2020. Ketika itu, World Economic Forum (WEF) memperkenalkan inisiatif The Great Reset untuk mengurangi ketimpangan global dan mendorong inisiatif lingkungan di masa pandemi Covid-19.
Namun, bagi penganut teori konspirasi, konferensi Davos menjadi “bukti” bahwa orang-orang terkaya dunia menggunakan pandemi untuk membentuk rezim totalitarian globalis demi merugikan rakyat biasa.
Menurut Aniano, slogan “I will not eat the bugs” pertama kali muncul di forum anonim 4chan pada Agustus 2019, tetapi popularitasnya melonjak setelah bercampur dengan teori konspirasi The Great Reset selama pandemi. Pada 2021, WEF menerbitkan artikel yang menyebut serangga lebih berkelanjutan ketimbang daging untuk mengatasi perubahan iklim dan ketahanan pangan.
“Teori konspirasi soal serangga ini menyatu dengan gagasan bahwa memilih partai kiri sama saja dengan membeli tiket sekali jalan menuju akhir peradaban modern seperti yang kita kenal sekarang,” jelas Aniano. “Sesuatu yang tampak sesederhana makanan pun sarat penanda budaya dan identitas.”
Kebijakan Uni Eropa
UE pada Januari 2023 menyetujui empat spesies serangga sebagai jenis makanan baru, yakni jangkrik rumah, larva kumbang biji-bijian, belalang migran, dan larva kering kumbang tepung. Serangga ini boleh digunakan dalam kondisi tertentu. Keputusan ini memicu ledakan kemarahan di media sosial.
Dalam sebuah wawancara, politisi sayap kanan Prancis Laurent Duplomb mengkritik izin baru ini. “Kita tidak boleh membiarkan orang Prancis makan serangga tanpa sepengetahuan mereka," kata Duplomb.
Klaim itu salah. Hukum UE mewajibkan kehadiran serangga pada produk dicantumkan jelas di label. Pada Januari 2025, misalnya, Komisi Eropa menyetujui bubuk ulat kuning UV-treated sebagai novel food. Diatur hingga 4% penggunaannya dalam roti, keju, dan pasta — dengan kewajiban tercantum jelas pada label.
Pendiri partai nasionalis Les Patriotes, Florian Philippot, menyebut dalam video di X bahwa UE “mengambil risiko meracuni satu benua” demi bersaing dengan peternakan. Ia menyebut akan ada “hingga 4g per 100g larva” di “roti, selai buah, pasta. Klaim itu juga salah.
Aniano menjelaskan secara retoris, frasa 'saya tak akan makan serangga' efektif karena seolah-olah menanggapi perintah. Padahal, perintah itu tak pernah ada. "Kesederhanaannya menyentuh kecemasan yang lebih dalam soal kepercayaan pada otoritas, terutama saat krisis seperti perubahan iklim dan pandemi Covid-19,"

Mengapa teori konspirasi itu meluas?
Stephan Lewandowsky, profesor ilmu kognitif Universitas Bristol, mengatakan teori konspirasi menolak makan serangga meluas karena apa yang didalilkan pada teori itu memenuhi kebutuhan emosional sebagian publik. Orang cenderung mencari narasi untuk menjelaskan dunia yang terasa acak.
"Percaya bahwa kekuatan besar (meski jahat) mengendalikan kejadian global terasa lebih meyakinkan ketimbang menerima ketidakpastian," kata Lewandowsky.
Menurut Lewandowsky, teori pemerintah memaksa publik makan serangga demi intensi ekonomi lucu dan menggelikan. Faktanya, serangga memang dapat dimakan dan sumber protein baik.
NIH AS mencatat, serangga kering bisa mengandung hingga 60% protein. Tepung jangkrik, misalnya, mengandung 46–70% protein, sedangkan daging sapi tanpa lemak matang hanya mengandung sekitar 26% protein.
Namun demikian, Lewandowsky mengakui bakal sulit untuk meredam teori konspirasi semacam itu. Jika orang terdekat sudah terjerumus, ia menyarankan pendekatan penuh empati dan terapi "deprogramming" berkepanjangan, mirip dengan proses keluar dari kultus.
"Ini (mengubah keyakinan seseorang) bukan sesuatu hal yang bisa kamu lakukan hanya dalam satu perbincangan di meja makan," kata dia.


