Batik, antara bisnis dan makna filosofis

Batik Indonesia memiliki beragam motif dan menjadi bisnis yang menggiurkan bagi sebagian orang.

Perajin membuat kain batik cap di Sentra Industri Batik Kenep, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (1/10). /Antara Foto.

Tepat hari ini, sembilan tahun lalu, batik sudah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Atas pengakuan tersebut, Indonesia menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.

Dari situs www.jabarprov.go.id disebutkan, seni membatik sudah dikenal sejak masa Kerajaan Majapahit. Kemudian, mulai meluas di kalangan masyarakat, terutama Suku Jawa, setelah akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Hingga awal abad ke-20, hanya dikenal batik tulis. Batik cap baru dikenal sekitar tahun 1920. Banyak daerah pusat perbatikan di Jawa merupakan daerah-daerah santri. Batik pun pernah menjadi alat perjuangan ekonomi tokoh-tokoh pedagang Islam dalam melawan sistem perekonomian kolonial.

Sebagai produk kebudayaan, batik tak bisa hanya dilihat secara ekonomis. Bagi para perajin atau pelaku usahanya, corak batik mengandung filosofi tersendiri. Hal ini merupakan pengaruh kebudayaan, di mana batik itu diciptakan.

Batik motif parang misalnya, memiliki nilai filosofi yang tinggi, berupa petuah agar tak pernah menyerah. Serupa ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak. Motif batik ini sudah dikenal sejak Mataram dan Kartasura.