Ada paradoks dalam hubungan manusia dengan rasa takut. Kita menghindarinya, tapi juga mencarinya. Kita menjerit ketika dikejutkan, namun diam-diam menunggu sensasi itu datang lagi. Entah dalam kisah hantu, film slasher, atau game bertema zombie, ketakutan seolah menjadi ruang hiburan yang paling personal.
Padahal, secara naluriah, rasa takut adalah alarm kuno yang diciptakan untuk melindungi kita dari bahaya. Rasa takut muncul agar kita menjauh dari ancaman, bukan mendekatinya. Anehnya, film bergenre horor kerap laris manis di bioskop.
“Paradoks horor adalah teka-teki tua. Kita diciptakan untuk menghindari bahaya, tapi justru merasa tertarik untuk mengalaminya," kata Mark Miller, peneliti di Monash University dan University of Toronto, seperti dikutip dari BBC Future, Senin (27/10).
Pertanyaan itulah yang sejak lama mengusik para filsuf dan psikolog. Dari Aristoteles hingga peneliti modern, semua mencoba memahami paradoks ini—mengapa manusia merasa tertarik pada hal-hal yang sejatinya mengerikan?
Dan kini, setelah puluhan tahun menjadi misteri, para ilmuwan mulai menemukan jawabannya. Bukti-bukti baru menunjukkan bahwa di balik teriakan dan kengerian, kisah horor ternyata memberi ruang bagi otak untuk berlatih menghadapi ketidakpastian.
Rasa takut yang aman—seperti saat menonton film dari sofa—bisa jadi cara tubuh dan pikiran memproses stres. Ketakutan, rupanya, bukan hanya untuk dihindari; tapi juga bisa menjadi obat.
Penulis buku Morbidly Curious: A Scientist Explains Why We Can't Look Away, Coltan Scrivner mengatakan rasa penasaran terhadap hal mengerikan itu ternyata bersifat universal. Dari mitologi kuno hingga budaya pop, manusia selalu menciptakan cerita yang membuat jantung berdegup lebih cepat.
“Bukti pertama tulisan manusia sudah berisi makhluk-makhluk mengerikan,” ujarnya. “Fitur horor sama tuanya dengan bahasa itu sendiri.”
Scrivner menjelaskan bahwa horor adalah bentuk permainan evolusioner—cara manusia berlatih menghadapi bahaya tanpa benar-benar terluka. Seperti kijang yang berdiri mematung menatap singa dari kejauhan, manusia pun belajar menghadapi ketakutan lewat jarak aman yang disebut fiksi. Horor, dengan kata lain, adalah latihan bertahan hidup yang dikemas dalam cerita.
Penelitian yang dilakukan Scrivner menemukan tiga tipe penikmat horor. Pertama, adrenaline junkies—mereka yang mencari sensasi, menikmati detak jantung yang berpacu karena rasa takut membuat mereka merasa lebih hidup. Kedua, white knucklers—orang-orang yang tidak terlalu menikmati rasa takut, tapi merasa bangga bisa menaklukkannya.
Terakhir, dark copers—mereka yang menjadikan horor sebagai cara berdamai dengan dunia nyata yang tak kalah menakutkan. Bagi kelompok ini, menonton adegan sadis justru mengingatkan betapa aman hidup mereka sendiri.
“Setiap orang punya alasan berbeda untuk mendekati kengerian,” tulis Scrivner. “Tapi pada dasarnya, semua itu bentuk rasa ingin tahu terhadap kematian, bahaya, dan batas kemampuan diri.”
Penjelasan ilmiah di balik fenomena ini pun mulai terbuka. Otak manusia, menurut banyak ahli saraf, bekerja dengan cara mensimulasikan dunia sekitar—sebuah mesin prediksi yang terus berusaha memahami apa yang akan terjadi berikutnya.
Ilusrtrasi menonton film horor. Alinea.id/Firgie Saputra
Latihan bagi otak
Dalam konteks ini, menonton film horor seperti memberi “latihan darurat” bagi otak untuk menghadapi ancaman nyata di kehidupan sehari-hari.
“Horror membuat otak tetap waspada, tapi dalam kondisi aman,” kata Miller. “Kita belajar bereaksi, tapi tahu kita bisa menghentikan semuanya kapan saja—menjeda film, menutup mata, atau meninggalkan ruangan.”
Dalam kondisi itulah ketakutan berubah fungsi: bukan lagi alarm bahaya, melainkan ruang belajar bagi keberanian. Otak berlatih mengenali ancaman tanpa kehilangan kendali. Emosi kita diuji, tapi tidak sampai hancur. Dari situlah, lahir semacam ketahanan emosional baru—kemampuan menghadapi ketidakpastian tanpa panik.
Scrivner bahkan percaya bahwa horor bisa menjadi alat terapi. Dalam beberapa penelitian, anak-anak dengan gangguan kecemasan diajak bermain gim bernama MindLight—sebuah permainan di mana monster hanya bisa dikalahkan dengan cara menenangkan pikiran.
Jika anak bisa tetap tenang, monster itu berubah menjadi kucing kecil yang jinak. Hasilnya mengejutkan: tingkat kecemasan mereka menurun drastis, sebanding dengan hasil terapi perilaku kognitif klasik.
Bagi Scrivner, hal itu menegaskan bahwa rasa takut bukan musuh. Ia bisa dijinakkan, bahkan dimanfaatkan untuk membangun ketenangan.
“Horor memberi ruang bagi manusia untuk berlatih menghadapi emosi negatif tanpa risiko nyata. Kita belajar mengatur napas, menantang logika ketakutan, dan menata ulang reaksi kita terhadap stres,” tuturnya.