sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Batik, antara bisnis dan makna filosofis

Batik Indonesia memiliki beragam motif dan menjadi bisnis yang menggiurkan bagi sebagian orang.

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Selasa, 02 Okt 2018 21:35 WIB
Batik, antara bisnis dan makna filosofis

Tepat hari ini, sembilan tahun lalu, batik sudah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Atas pengakuan tersebut, Indonesia menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.

Dari situs www.jabarprov.go.id disebutkan, seni membatik sudah dikenal sejak masa Kerajaan Majapahit. Kemudian, mulai meluas di kalangan masyarakat, terutama Suku Jawa, setelah akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Hingga awal abad ke-20, hanya dikenal batik tulis. Batik cap baru dikenal sekitar tahun 1920. Banyak daerah pusat perbatikan di Jawa merupakan daerah-daerah santri. Batik pun pernah menjadi alat perjuangan ekonomi tokoh-tokoh pedagang Islam dalam melawan sistem perekonomian kolonial.

Sebagai produk kebudayaan, batik tak bisa hanya dilihat secara ekonomis. Bagi para perajin atau pelaku usahanya, corak batik mengandung filosofi tersendiri. Hal ini merupakan pengaruh kebudayaan, di mana batik itu diciptakan.

Batik motif parang misalnya, memiliki nilai filosofi yang tinggi, berupa petuah agar tak pernah menyerah. Serupa ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak. Motif batik ini sudah dikenal sejak Mataram dan Kartasura.

Dian Anjar, seorang pegawai perusahaan swasta mengatakan kepada saya, perusahaannya mengimbau seluruh karyawan untuk mengenakan batik hari ini. Erna Supriatin, seorang guru di Bogor juga mengatakan, pemerintah daerah sudah menetapkan Hari Batik Nasional sebagai hari untuk mengenakan batik bagi semua pegawai negeri sipil di Kabupaten Bogor.

Gabungan Persatuan Istri TNI (Persit) membatik motif Pinto Aceh saat Festival Membatik di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (2/10) (Antara Foto).

Sponsored

Raup untung dari batik

Hari ini, saya pun mengunjungi pameran batik di Thamrin City, Jakarta Pusat. Pameran ini dihelat selama empat hari, dari 29 September hingga 2 Oktober 2018. Cukup banyak pengunjung yang datang, membuat saya tertarik singgah di salah satu kios batik.

Kios Daera Shop Batik menjual berbagai motif batik dengan harga variatif. Pemiliknya, Rina Yulianti, menawarkan blus batik model kalong yang berukuran besar untuk saya.

“Ini motif parang. Paling banyak diburu pelanggan sekarang ini,” kata Rina. Dia menawarkannya seharga Rp450.000.

Batik cetak yang ditawarkan Rina merupakan tipe menengah. Biasanya dibanderol dengan harga sekitar Rp400.000 hingga Rp750.000. Sedangkan batik tulis, dengan tingkat kesulitan membuatnya, harganya bisa Rp1 juta hingga Rp2 juta.

Sudah sepuluh tahun Rina berjualan di Thamrin City. Omset Rina dalam sebulan mencapai Rp150 juta. Pendapatan yang sangat fantastis ini bukan hanya didapatkan dari kiosnya di Thamrin City. Rina juga menjual dan mengirim batiknya ke sejumlah pelanggan yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Saya juga suka kirim ke luar negeri seperti Malaysia. Ada pelanggan di sana. Biasanya sekali kirim 150 potong dalam sebulan,” kata dia.

Saya tertarik mengetahui lebih jauh bisnis batik di sini. Kemudian, saya mengunjungi kios lainnya, Putri Dewi. Kios ini menjual aneka batik cap dari Pekalongan. Kebetulan, Azizah, sang pemilik kios berasal dari kota batik tersebut. Seluruh batik yang dijualnya pun didatangkan dari kampung halamannya.

“Corak alam paling banyak dicari, baik orang tua ataupun anak muda suka. Kalau soal modelnya, anak muda lebih suka outer (luaran) gitu,” kata dia.

Batik di kios Azizah dijual dengan kisaran harga Rp50.000 hingga Rp600.000. Dalam sebulan, Azizah mampu meraup omset Rp20 juta. Azizah mengaku, hasil menjual batik ini sudah cukup membiayai hidup keluarganya. Suaminya juga berjualan batik di Pekalongan, dan menjadi pemasok untuk kios Azizah.

Sejumlah model memperagakan busana batik dalam Fashion Show Batik di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (2/10). (Antara Foto).

Perlu sosialisasi dan edukasi

Batik yang ditawarkan Rina adalah batik cap dan cetak. Sementara untuk batik tulis, diproduksi hanya sesuai pesanan. Ada tiga jenis batik berdasarkan pembuatannya, yakni batik cap, cetak, dan tulis. Selain motif parang, Rina menjual batik motif sogan dan tujuh rupa.

Sementara Azizah menjual batik dengan motif yang lebih sederhana. Mayoritas motif tujuh rupa dan parang. Menurut Azizah, batik motif tujuh rupa paling diminati pembeli. Batik motif tujuh rupa sendiri berasal dari Pekalongan. Batik ini memiliki nuansa kental dengan kekayaan alam. Biasanya bergambar hewan dan tumbuhan.

Motif-motif ini terinspirasi dari berbagai campuran kebudayaan lokal dan etnis Tionghoa. Dahulu, Pekalongan memang tempat singgah para pedagang berbagai bangsa. Terjadi percampuran kebudayaan, yang membuat motif batiknya khas, terutama motif jlamprang, buketan, terang bulan, semen, pisan bali, dan lung-lungan.

Rina mengatakan, hampir sebagian besar pelanggannya merupakan konsumen yang sudah paham nilai estetik maupun filosofis batik. Pelanggannya juga paham untuk membedakan bahan yang digunakan pada batik. Tentu saja, hal itu membuat dia tak perlu putar otak menjelaskan tentang batik.

Namun, ironisnya, pembeli yang berkunjung ke acara semacam pameran batik di Hari Batik Nasional ini justru awam menyoal batik.

“Kalau begini ya susah. Mereka tahunya cuma nawar harga. Mereka menganggap batiknya mahal, jadi ditawar sampai murah. Padahal tidak mengerti apa bahan dan coraknya,” kata dia.

Rina memiliki harapan, ke depannya pameran batik lebih banyak menjaring konsumen yang paham tentang batik. Sosialisasi dan edukasi dari pemangku kepentingan dirasa sangat perlu untuk melestarikan warisan kebudayaan bangsa ini.

Sosialisasi dan edukasi dari pemangku kepentingan juga dirasa sangat perlu untuk memberikan wawasan warisan kebudayaan tersebut. Sehingga, Hari Batik Nasional tak sekadar perayaan mode berjalan pakai batik atau mengenakan batik, lantaran diwajibkan kantor.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid