Kita sering menganggap rumah dan hotel sebagai ruang aman yang isinya bisa ditebak. Tetapi, ada kalanya jantung kita berdebar saat menyusuri lorong-lorong panjang di hotel atau menemui ruangan kosong di sebuah rumah. Tiba-tiba, kita merasa angker.
Para ilmuwan menyimpulkan sensasi semacam itu bukan takhayul. Itu cara otak kita keliru membaca lingkungan. Melalui dinding, cahaya, dan gema suara, arsitektur bisa memperdaya pancaindra—membuat tempat yang mestinya akrab terasa ganjil dan tidak bersahabat.
Dinding, sudut, dan penanda visual lazimnya menjadi titik orientasi bagi otak kita. Begitu melangkah ke tempat baru, orang-orang akan mendapati udara yang berubah dan pergeseran kerapatan cahaya. Saat itu, tubuh seolah "menahan napas".
“Otak hampir seketika mulai membangun peta internal ruang itu... memberikan informasi tentang struktur dan tata letaknya," ujar Lisa Giocomo, profesor neurobiologi di Stanford University School of Medicine, seperti dikutip dari National Geographic, Kamis (30/10).
Setelah peta itu terbentuk, otak menimpanya dengan makna—hasil dari memori dan pengalaman. Saat mengenali bangunan sebagai restoran, misalnya, otak langsung memunculkan ekspektasi: di mana tempat memesan makanan, di mana tempat duduk.
“Peta ini digunakan bukan hanya untuk tahu di mana kita berada, tapi juga untuk memprediksi ke mana kita bisa melangkah selanjutnya,” kata Giocomo.
Ekspektasi juga muncul saat kita mendapati bangunan tua. Otak kita peka terhadap tanda-tanda kerusakan. Di hotel tua, rumah besar, atau gedung terbengkalai, aroma lembap, debu, dan kayu lapuk menjadi sinyal biologis bahwa tempat itu tak lagi layak huni.
“Mereka memberi isyarat bahwa ruang itu tidak aman bagi kehidupan. Tambahkan gema langkah kaki yang memantul di dinding kosong—itu memperbesar rasa sepi. Lalu udara lembap dan dingin yang menyerupai bawah tanah,” ujar Beth Tauke, profesor arsitektur di University at Buffalo.
Semua itu, kata Tauke, mengaktifkan naluri kewaspadaan. Bangunan yang dulu megah tapi kini membusuk juga mengingatkan kita pada kefanaan. Kita bertanya dalam hati: siapa yang dulu berjalan di sini? Apa yang terjadi?
“Kekosongan naratif ini, dipadu dengan ketidakpastian visual, menstimulasi default mode network dalam otak—sistem yang juga berperan dalam imajinasi dan memori,” jelas Tauke. “Otak mulai menciptakan cerita untuk menjelaskan reruntuhan itu, dan cerita-cerita itu biasanya condong ke arah bahaya atau kehilangan.”
Ilustrasi hotel tua. /Foto Unsplash
Kehilangan arah
Banyak tempat yang dianggap “berhantu” justru menghapus penanda yang dibutuhkan otak untuk bernavigasi. Dalam koridor berliku yang tiap tikungan tampak serupa, atau lorong panjang yang dinding dan pintunya berulang tanpa ujung, otak kehilangan arah.
“Tanpa penanda atau titik tujuan yang jelas, otak kesulitan menentukan posisi kita di ruang. Ini memicu disorientasi ringan dan memberi sinyal bahwa tempat itu mungkin tidak aman,” jelas Tauke.
Penelitian pada 2021 tentang bentuk arsitektur dan emosi menemukan bahwa perubahan dalam kompleksitas ruang, kelengkungan, dan pencahayaan bisa memengaruhi tingkat kewaspadaan tubuh. Arsitek, sadar atau tidak, telah lama memanfaatkan prinsip itu—dari simetri membingungkan di Hall of Mirrors Versailles, hingga kekosongan sunyi dalam bangunan bergaya Brutalis.
Repetisi juga menambah rasa tak nyaman. “Ruang yang terlalu bisa ditebak terasa seperti palsu. Itu menimbulkan efek uncanny valley—bukan pada wujud manusia, tapi pada ruang. Seolah kita sedang berada di tempat yang hampir nyata, tapi tidak sepenuhnya,” ujar dia.