Beberapa suplemen, semisal vitamin D dan probiotik menjanjikan untuk obat depresi ringan. Namun, mayoritas tak berefek.
Mulanya dirancang untuk menutup celah nutrisi, kini suplemen menjelma pasar raksasa bagi kesehatan mental. Dengan sekitar 5,7% populasi dunia rentan mengalami depresi, banyak orang beralih pada kapsul dan pil “alami”, mulai dari vitamin, mineral, ekstrak herbal, hingga probiotik.
“Banyak orang takut dengan stigma kesehatan mental. Mereka ingin mencoba sesuatu yang dianggap lebih ringan, lebih aman, atau tidak butuh waktu lama,” kata Nicholas Fabiano, peneliti di Departemen Psikiatri, University of Ottawa, seperti dikutip dari National Geographic, Selasa (15/10).
Namun pertanyaannya, benarkah suplemen-suplemen itu bekerja sebagaimana dijanjikan? Riset terbaru mulai memilah mana yang benar-benar menjanjikan dan mana yang hanya terlihat meyakinkan di rak-rak apotek.
Sebuah riset berskala besar yang diterbitkan di Frontiers in Pharmacology menyimpulkan sebagian besar suplemen tak menunjukkan efek berarti. Contohnya, semisal multivitamin, vitamin B kompleks, melatonin, dan ramuan herbal penenang. Semua populer, tapi bukti ilmiahnya minim.
“Omega-3 pun tak lebih baik,” ujar Rachael Frost, peneliti dari Liverpool John Moores University yang memimpin kajian itu. Dari 39 studi, 23 menunjukkan hasil yang tak berbeda dengan plasebo.