Perubahan iklim tak hanya mengubah cuaca, tapi juga merusak kulit manusia—dari panas ekstrem, polusi, hingga asap kebakaran hutan.
Suatu pagi di November 2018, dokter kulit Maria Wei mengayuh sepedanya menuju klinik University of California, San Francisco. Di langit, ia melihat serpihan-serpihan putih melayang pelan, seperti salju yang tersesat ke musim panas. Tapi ketika serpihan itu menyentuh tanah, ia tahu: itu bukan salju—melainkan abu.
“Itu abu dari kebakaran Camp Fire, yang berjarak sekitar 280 kilometer dari sini,” kenang Wei seperti dikutip dari National Geographic, Selasa (7/10). “Saya sempat berpikir, bagaimana pengaruhnya terhadap paru-paru saya... lalu saya mulai bertanya: bagaimana dengan kulit?”
Pertanyaan itu tak butuh waktu lama untuk dijawab. Dalam beberapa minggu setelahnya, klinik tempat Wei bekerja dibanjiri pasien dengan keluhan serupa—kulit yang gatal, iritasi, dan kambuhnya eksim. Kasus psoriasis meningkat, dan banyak orang datang hanya untuk berkata bahwa kulit mereka “tak nyaman”.
Krisis iklim membuat bumi makin panas, dan bersama panas itu datang polusi udara yang kian parah akibat bencana alam seperti kebakaran hutan. Tapi, apa sebenarnya hubungan antara perubahan iklim dan kulit—organ terbesar yang kita miliki? Bisakah kita merawat kulit agar tetap tangguh menghadapi planet yang kian tak ramah?
“Pengaruh iklim terhadap kulit jauh lebih besar dari efek produk perawatan apa pun,” kata Arianne Shadi Kourosh, dokter kulit di Harvard Medical School.