close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi badai topan. /Foto Unsplah
icon caption
Ilustrasi badai topan. /Foto Unsplah
Peristiwa
Rabu, 29 Oktober 2025 15:01

Kenapa badai-badai raksasa terus bermunculan?

Pemanasan laut memicu badai seperti Hurricane Melissa tumbuh jadi kategori 5 hanya dalam 48 jam. Ilmuwan sebut ini sinyal bahaya iklim ekstrem.
swipe

Topan Melissa baru saja mencatat sejarah kelam di Karibia. Dalam waktu 48 jam, badai yang awalnya hanya berupa depresi tropis itu berubah menjadi monster kategori 5 dengan kecepatan angin lebih dari 290 kilometer per jam. 

Melissa menghantam Jamaika, Republik Domika, dan Haiti, pada Selasa (28/7). Setidaknya tujuh orang di tiga negara itu tewas akibat terjangan badai itu. Topan kali ini menjadi badai terkuat yang pernah melanda kawasan Karibia itu sejak 1851.

Namun, Melissa bukan badai biasa. Ia adalah simbol dari sesuatu yang lebih besar—tanda bahwa samudra kita kini berubah menjadi dapur panas yang menyalakan badai-badai ekstrem.

Fenomena ini disebut rapid intensification atau penguatan cepat: ketika kecepatan angin badai meningkat lebih dari 55 kilometer per jam hanya dalam 24 jam. Dulu, kejadian seperti ini langka. Kini, ia muncul lebih sering, dan makin mematikan.

Hanya dalam lima tahun terakhir, beberapa badai telah menunjukkan lonjakan kekuatan yang menakutkan. Hurricane Helene tumbuh dari kategori 1 menjadi kategori 4 dalam sehari sebelum menghantam Florida pada 2024. Sebulan kemudian, Hurricane Milton naik dari badai tropis menjadi kategori 5 dalam dua hari.

Peneliti di jurnal Nature (2023) menemukan bahwa badai yang mengalami rapid intensification kini dua kali lebih sering muncul di dekat garis pantai dibanding 40 tahun lalu. Itu berarti jutaan orang di pesisir—terutama di Karibia dan Teluk Meksiko—mempunyai waktu yang jauh lebih singkat untuk mengungsi.

“Ini mimpi buruk bagi para peramal cuaca. Kita bisa saja mempersiapkan diri untuk badai kategori dua, tapi yang datang bisa kategori lima," kata seorang meteorolog NOAA seperti dikutip dari National Geographic, Rabu (29/10). 

Di balik setiap badai, ada resep fisika yang rumit: lautan hangat, udara lembap, dan angin vertikal yang tenang. Ketika air laut memanas, ia menguap dan melepaskan energi besar. Energi itu menciptakan tekanan rendah yang memutar udara menjadi pusaran raksasa—badai tropis.

Jika udara di sekitarnya cukup lembap, energi ini terkunci di dalam sistem, membuat badai sulit melemah. Tapi ketika semua kondisi itu “selaras”, badai bisa meledak dalam hitungan jam. 

“Segalanya harus tepat,” jelas Brian Tang, ilmuwan atmosfer dari University at Albany. “Ketika badai tampak sangat simetris di citra satelit, itu pertanda ia siap melonjak.”

Model cuaca terbaru seperti HAFS (Hurricane Analysis and Forecast System) kini bisa memprediksi fenomena ini sekitar 24 jam sebelumnya. Namun, faktor internal di dalam inti badai tetap sulit diukur. Untuk itu, para peneliti mengandalkan pesawat Hurricane Hunter dan drone yang berani masuk ke “perut” badai demi mendapatkan data vital.\

Ilustrasi kapal karam. /Foto Unsplash

Laut yang memanas

Namun, penyebab terdalam dari semua ini ada di bawah permukaan laut. Ruby Leung, ilmuwan dari Pacific Northwest National Laboratory, menjelaskan bahwa lapisan air hangat di permukaan laut kini semakin tebal akibat pemanasan global. Jika badai datang, ia menyedot energi dari air hangat itu tanpa batas.

Pada 2017, Hurricane Irma tiba-tiba menguat di atas wilayah laut yang kaya air tawar dari Sungai Amazon dan Orinoco. Air tawar ini membentuk lapisan hangat di atas air asin yang lebih padat di bawahnya—sehingga laut tak bisa “menyegarkan diri” dengan air dingin. Akibatnya, badai terus menyedot panas tanpa jeda.

Badai yang membawa hujan deras pun bisa menciptakan lapisan air tawar serupa, memperkuat badai berikutnya. Ini menciptakan lingkaran umpan balik berbahaya: udara yang makin panas membawa lebih banyak hujan, hujan itu menghangatkan laut, dan laut yang hangat melahirkan badai yang lebih kuat.

Ahli oseanografi Henry Potter dari Texas A&M University pernah meneliti Hurricane Harvey (2017), yang menguat di Teluk Meksiko meski prediksi awalnya rendah. Penjelasannya sederhana: air laut di sana hangat hingga ke dasar.

“Tak peduli seberapa besar badai itu memutar air,” kata Potter, “tidak ada air dingin yang bisa naik untuk menenangkannya.”

Kini, data menunjukkan risiko badai ekstrem meningkat di wilayah pesisir yang padat penduduk. Dengan pemanasan laut yang terus berlanjut, jangkauan siklon tropis diperkirakan akan meluas ke wilayah yang sebelumnya aman.

“Samudra sedang berubah menjadi air mandi di musim panas,” ujar Potter. “Hangat, dalam, dan sempurna untuk membesarkan badai.”

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan