Dampak kenaikan suhu pada kulit kita: Dari iritasi hingga risiko kanker
Suatu pagi di November 2018, dokter kulit Maria Wei mengayuh sepedanya menuju klinik University of California, San Francisco. Di langit, ia melihat serpihan-serpihan putih melayang pelan, seperti salju yang tersesat ke musim panas. Tapi ketika serpihan itu menyentuh tanah, ia tahu: itu bukan salju—melainkan abu.
“Itu abu dari kebakaran Camp Fire, yang berjarak sekitar 280 kilometer dari sini,” kenang Wei seperti dikutip dari National Geographic, Selasa (7/10). “Saya sempat berpikir, bagaimana pengaruhnya terhadap paru-paru saya... lalu saya mulai bertanya: bagaimana dengan kulit?”
Pertanyaan itu tak butuh waktu lama untuk dijawab. Dalam beberapa minggu setelahnya, klinik tempat Wei bekerja dibanjiri pasien dengan keluhan serupa—kulit yang gatal, iritasi, dan kambuhnya eksim. Kasus psoriasis meningkat, dan banyak orang datang hanya untuk berkata bahwa kulit mereka “tak nyaman”.
Krisis iklim membuat bumi makin panas, dan bersama panas itu datang polusi udara yang kian parah akibat bencana alam seperti kebakaran hutan. Tapi, apa sebenarnya hubungan antara perubahan iklim dan kulit—organ terbesar yang kita miliki? Bisakah kita merawat kulit agar tetap tangguh menghadapi planet yang kian tak ramah?
“Pengaruh iklim terhadap kulit jauh lebih besar dari efek produk perawatan apa pun,” kata Arianne Shadi Kourosh, dokter kulit di Harvard Medical School.
Kenaikan suhu global bukan hanya membuat hari-hari terasa terik. Ia memperburuk kondisi kulit yang sudah ada dan, dalam jangka panjang, meningkatkan risiko kanker kulit.
“Kulit adalah organ terbesar kita, dan ia adalah lapisan pertama yang bersentuhan langsung dengan lingkungan,” ujar Eva R. Parker, dokter kulit di Vanderbilt University Medical Center, Tennessee.
Sebuah tinjauan yang dirilis Dewan Eksim Internasional pada 2024 menunjukkan bahwa panas ekstrem dan keringat berlebih membuat orang lebih sering menggaruk, memperparah gejala eksim—fenomena yang juga diamati Parker di kliniknya.
Suhu tinggi juga memicu psoriasis dan memperburuk kemerahan pada wajah penderita lupus. Menurut Parker, kasus-kasus ini kini muncul lebih awal di musim semi dan bertahan lebih lama hingga musim gugur. Musim panas yang seolah tak mau pergi.
Natalie Baker, mahasiswa kedokteran tahun ketiga di Harvard sekaligus penulis studi tentang topik pemanasan global, menyaksikan sendiri bagaimana gelombang panas berdampak pada pasien di Boston. Seorang pasiennya yang mengidap limfoma sel T kutaneus—jenis kanker yang menimbulkan ruam dan kulit bersisik—mengaku gatal yang dideritanya saat musim panas “benar-benar tak tertahankan”.
Pasien lain dengan hidradenitis suppurativa, penyakit kulit yang menyebabkan abses nyeri, juga melaporkan gejala yang jauh lebih parah selama periode panas dan lembap. Lingkungan yang basah dan gerah menciptakan surga bagi bakteri, sementara gesekan antara luka dan pakaian membuat rasa sakit makin menjadi.
“Banyak pasien saya bilang, ‘Setiap musim panas saya seperti duduk di tepi kursi, menunggu kapan tubuh saya akan kambuh lagi,’” kata Baker.
Tak hanya itu, kebakaran hutan yang kian sering dan ganas membuat udara di banyak tempat berubah menjadi campuran debu dan racun. Abu yang dulu dilihat Wei berjatuhan di langit San Francisco tujuh tahun lalu hanyalah satu dari banyak tanda: bahwa batas antara bencana alam dan tubuh manusia kini makin tipis.
“Banyak, kalau bukan semua, penyakit kulit yang bersifat inflamasi akan terdampak oleh polusi udara—termasuk asap kebakaran,” ujar Wei.
Ketika hutan terbakar, api melepaskan partikel halus yang menembus jauh ke jaringan kulit, memicu stres oksidatif, dan merusak sel-sel di bawah permukaannya. Bagi penderita eksim—yang fungsi pelindung kulitnya sudah rapuh—zat polutan itu lebih mudah masuk, menyebabkan perih dan iritasi.
Pada pasien psoriasis, polusi udara membangkitkan respons imun yang keliru: tubuh melepaskan bahan kimia inflamasi ke aliran darah, dan kulit pun meradang.
Di Boston, Kourosh melihat gejala serupa saat asap kebakaran Kanada menyelimuti kota pada Juni 2023. Biasanya, eksim memuncak di musim dingin ketika udara kering. Tapi pada musim panas itu, pasien berdatangan tanpa henti. “Dalam bulan biasa kami mungkin menerima di bawah 20 pasien eksim. Saat kebakaran hutan, jumlahnya melonjak menjadi 160,” ujarnya.
Yang lebih mengejutkan, bukan hanya mereka yang punya riwayat penyakit kulit. Banyak orang yang sebelumnya tak pernah bermasalah dengan kulit mendadak datang dengan keluhan iritasi. Tim Wei di San Francisco menyaksikan hal serupa pada 2018. Mereka bahkan menelusuri lonjakan pencarian daring tentang rasa gatal, yang berbanding lurus dengan meningkatnya kunjungan ke klinik kulit di wilayah itu.
Namun, dampak polusi udara tak hanya berhenti di ruang konsultasi. Kourosh mengingat momen ketika ia harus mengeluarkan imbauan publik agar orang tetap di dalam rumah dan menggunakan pemurni udara saat kebakaran di Los Angeles awal tahun ini.
“Saya langsung teringat pada banyak pasien saya yang tak punya kemewahan itu,” katanya. “Mereka harus bekerja di luar ruangan. Mereka tak bisa sekadar menutup pintu dan menyalakan purifier.”
Penelitian terbaru menunjukkan, mereka yang tidak memiliki sistem penyaring udara di rumah lebih rentan mengalami iritasi kulit dan alergi akibat paparan asap. Dalam jangka panjang, paparan berulang ini juga bisa meninggalkan jejak yang lebih dalam.
Wei dan timnya di University of California San Francisco kini menelaah puluhan studi tentang risiko kanker kulit pada petugas pemadam kebakaran di seluruh dunia. Meski hasil akhirnya belum dipublikasikan, Wei memperkirakan risiko mereka dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi dibanding populasi umum.

Langkah antisipasi
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi efek negatif dari pemanasan global terhadap kulit kita? Kourosh merawat kuli secara rutin, penggunaan serum dengan kandungan antioksidan, pelembap kaya ceramide, tabir surya berbasis mineral.
Kandungan seng, titanium, dan besi oksida dalam beberapa tabir surya, menurut Kurosh, tak hanya melindungi dari sinar UV, tapi juga membentuk perisai halus yang menahan partikel polutan agar tak menembus kulit.
Untuk malam hari, Kourosh menyarankan pembersih lembut untuk mengangkat sisa polusi dari wajah, diikuti pelembap dengan ceramide guna memperbaiki lapisan pelindung kulit yang terkikis sepanjang hari.
Meski begitu, tak semua ahli sepakat apakah pelembap benar-benar menciptakan lapisan pelindung tambahan atau justru menjebak partikel polusi di permukaan kulit. “Area ini masih perlu banyak penelitian,” kata Wei.
Yang pasti, para dermatolog sepakat bahwa langkah paling penting adalah waspada terhadap kualitas udara. “Memantau indeks polusi dan mencegah paparan saat kualitas udara memburuk adalah kunci,” ujar Parker. Tutup jendela, kenakan masker, dan lindungi kulit jika harus beraktivitas di luar.


