Geliat tingwe: Saat ngudud adalah sebentuk perlawanan 

Banyak perokok memilih tembakau linting dewe karena tak mampu membeli rokok pabrikan saat pandemi.

Ilustrasi linting dewe (tingwe). Alinea.id/Oky Diaz

Sebuah papan informasi terpacak di salah satu pilar bangunan Toko Maestro di kawasan Ampera, Tangerang, Banten, Senin (4/1) siang itu. Isi informasinya tergolong umum: menjelaskan kapan toko itu buka, tutup, dan libur. Yang tak biasa ialah penanda nomor antrean di bawah papan informasi itu. 

Sang pemilik toko, Jumiati, sedang ada di balik etalase toko siang itu. Bersama sejumlah anak buahnya, perempuan berusia 49 tahun tersebut seolah tak henti-hentinya melayani para pembeli yang mengular hingga ke jalan raya di depan toko. 

"Mau rasa kayak Samsu, Sampoerna Mild atau Gudang Garam Surya sama Marlboro banyak di sini. Mas, biasanya rokok apa?" tanya Jumiati kepada seorang pengunjung toko yang terlihat masih ragu memilih tembakau rajangan yang akan dibeli. 

Sebagaimana tertulis di plang nama toko, Maestro adalah agen besar tembakau rajangan. Beragam jenis tembakau dijual di toko tua yang sebagian besar cat pada tembok bangunannya telah mengelupas itu. 

Tersimpan di toples-toples dan bungkusan-bungkusan plastik besar, mole dan lempengan tembakau berwarna kecoklatan terlihat menyesaki seantero toko. Hampir tak ada ruang untuk bergerak bebas di toko kecil itu.