Ilmu pengetahuan yang dibelenggu kolonialisme

Buku karya Andrew Goss ini dinilai gagal menggambarkan sejarah ilmuwan dan ilmu pengetahuan secara komprehensif.

Buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (2014). /komunitasbambu.id.

Akhir abad ke-19, riset sejarah alam berbasis laboratorium kian populer. Penelitiannya menitikberatkan pendekatan eksperimental, yang kemudian merambah ke ranah kajian anatomi, morfologi, dan makhluk hidup.

Metode penelitian termutakhir, seperti genetika, kimia organik, dan kristalografi memengaruhi terciptanya disiplin ilmu biologi yang terpisah dari sejarah alam pada awal abad ke-20. Para petinggi pemerintah kolonial kerap meminta bantuan para ilmuwan di bidang sejarah alam maupun disiplin ilmu biologi, saat menemui beragam masalah.

“Para naturalis dari sudut pandang negara kolonial berguna sebagai manajer ahli alam tropis dengan segala kerumitannya. Pemerintah kolonial mempekerjakan ahli kehutanan Jerman yang menguasai teknik-teknik, kemudian untuk memperluas kendali negara atas hutan-hutan yang ada di Jawa dengan merancang berbagai mekanisme yang legal dan birokratis,” tulis Andrew Goss dalam bukunya Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (2014).

Mereka, tulis Goss, merupakan kelompok ilmuwan profesional pertama di Hindia Belanda. Ketua Departemen Sejarah, Antropologi, dan Filsafat di Augusta University, Georgia, Amerika Serikat ini menyebut mereka sebagai floracrat.

Floracrat berasal dari Bahasa Latin dan Yunani kuno, yakni flora artinya bunga dan kratos artinya kekuasaan. Istilah ini merujuk pada gambaran para ilmuwan yang berkarier dan berkarya dengan “dikte” pemerintah kolonial.