Lalu apa yang mendorong para dewasa muda ini kembali melirik dunia anak-anak?
Pernahkah Anda merasa lelah jadi orang dewasa? Pekerjaan menumpuk, tagihan tak ada habisnya, dan tanggung jawab datang silih berganti. Tak heran jika banyak dari kita—khususnya generasi milenial dan Gen Z—menyimpan kerinduan untuk kembali ke masa kecil. Dulu, kita ingin cepat dewasa agar bisa bebas menentukan hidup. Tapi begitu dewasa itu datang, justru kita berkata dalam hati: "Menjadi anak-anak jauh lebih menyenangkan."
Di tengah kehidupan yang makin cepat dan penuh tekanan, muncul satu tren budaya yang kian terasa gaungnya: kidult. Sebuah istilah yang berasal dari gabungan kata "kid" (anak) dan "adult" (dewasa), kidult menggambarkan orang dewasa yang menikmati hal-hal berbau masa kecil—mainan, boneka, kartun, hingga aktivitas seperti mengumpulkan pernak-pernik karakter animasi favorit.
Jika Anda berpikir ini hanya fenomena sesaat, pikirkan kembali. Coba tengok tas selempang bergaya mewah yang dihiasi gantungan Labubu, atau antrean panjang saat Miniso merilis koleksi kolaborasi Harry Potter. Banyak dari pembelinya bukan anak-anak, melainkan orang dewasa usia 20 hingga 40 tahun. Dan ya, mereka membeli bukan untuk keponakan atau adik mereka, tapi untuk diri sendiri. Ini bukan sekadar tren, tapi pergeseran budaya.
Fenomena kidult sebenarnya bukan hal baru. Istilah ini pertama kali muncul pada 1985 lewat artikel di majalah Time yang kala itu mendeskripsikan dua hal: anak-anak yang bersikap dewasa dan orang dewasa yang kekanak-kanakan. Yang bertahan hingga hari ini adalah makna kedua. Kini, kidulting telah berubah menjadi gaya hidup baru yang diterima luas. Media sosial turut memperkuat gelombang ini, dengan tagar seperti #kidultlife dan #adultmoney menjadi tempat berbagi kesenangan kecil yang dulu hanya dianggap milik anak-anak.
Perusahaan riset pasar Circana mencatat bahwa orang dewasa usia 18 tahun ke atas kini menjadi kelompok konsumen mainan yang pertumbuhannya paling cepat. Dalam dua tahun terakhir, penjualan untuk segmen dewasa naik 5,5%, mengalahkan segmen remaja. Sebaliknya, pengeluaran untuk mainan anak-anak justru menurun sejak 2021. Artinya, industri mainan kini melihat orang dewasa bukan lagi sebagai pembeli sekunder, tapi sebagai pasar utama.