close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi generasi Z./Foto Ummano Dias/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi generasi Z./Foto Ummano Dias/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 05 Oktober 2025 11:00

Dari fesyen hingga teknologi, kenapa gen Z terobsesi tren 1990-an dan 2000-an?

Setidaknya sejak dua tahun lalu, generasi Z mulai menunjukkan ketertarikannya pada tren Y2K—gaya atau estetika pop dari akhir 1990-an hingga awal 2000-an.
swipe

Generasi Z, beberapa tahun belakangan ini, “menghidupkan” kembali tren fesyen hingga teknologi tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Padahal, saat itu usia mereka masih anak-anak, bahkan ada yang belum lahir.

Mereka memiliki kenangan terbatas, atau sama sekali tak ada, tentang masa itu. Namun, mereka justru terlihat terobsesi “mempopulerkan” tren dekade tersebut. Hal itu bisa terlihat di media sosial dan kehidupan sehari-hari.

Setidaknya sejak dua tahun lalu, generasi Z mulai menunjukkan ketertarikannya pada tren Y2K—gaya atau estetika pop dari akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Estetika Y2K bercampur dengan budaya pop modern, memengaruhi mode, musik, hingga serial televisi.

Menurut The Vibes, celana low-rise, baggy jeans, crop top, wedges, motif cerah, hingga tube top—yang dahulu populer lewat Britney Spears, Christina Aguilera, Paris Hilton, dan Jennifer Lopez—kembali jadi tren. Popularitasnya juga didorong maraknya thrifting dan barang bekas.

Tren rambut dan aksesori khas Y2K juga populer kembali. Mereka pun menghidupkan kembali musik dan teknologi awal 2000-an. Mereka menyukai piringan hitam, kamera polaroid, hingga ponsel lipat.

Di sisi lain, dalam survei yang dilakukan lembaga riset YouGov terhadap 1.253 orang dewasa Amerika Serikat antara 25-28 Maret 2025 ditemukan, dari sisi fesyen 65% generasi Z menganggap tahun 1990-an adalah era yang modis, lebih keren daripada dekade lainnya.

Apa penyebabnya?

“Biasanya, nostalgia muncul dari kenangan masa kecil, terutama budaya populer saat remaja,” ujar profesor ekonomi perilaku di Vassar College, Amerika Serikat, Benjamin Ho kepada Business Insider.

“Rasanya, terlalu cepat bagi generasi Z untuk merindukan masa lalu.”

Ho menjelaskan, cepatnya arus media sosial membuat tren budaya pop terpecah begitu banyak, sehingga generasi muda sulit memiliki acuan budaya bersama. Karena itu, mereka kembali ke masa ketika serial televisi Friends atau Total Request Live (TRL) menjadi tontonan utama sepulang sekolah—yang menyatukan generasi lewat humor, fesyen, dan musik tema yang sama.

“Apa pun bentuknya, benang merah dari nostalgia anak muda adalah rasa kebersamaan. Nostalgia mempererat hubungan melalui pengalaman bersama dan menumbuhkan rasa percaya,” ujar Ho.

“Secara revolusioner, kita memang dirancang untuk mencari orang yang sejalan dengan kita.”

Dikutip dari The Vibes, peneliti di Sorbonne Universite, Emmanuelle Fantin mengatakan, fenomena ini disebut efek nowstalgia—nostalgia terhadap masa lalu yang sebenarnya tidak mereka alami sepenuhnya. Menurut The Vibes, fenomena ini juga muncul karena generasi Z tumbuh di tengah krisis—pandemi, resesi, dan isu lingkungan. Oleh karenanya, tahun 2000-an terlihat lebih optimis dan menyenangkan.

Profesor sekaligus psikolog di Le Moyne College, Amerika Serikat, Krystine Batcho memandang, fenomena ini sebagai respons yang wajar ketika kondisi ekonomi terguncang dan mengancaukan gaya hidup kita. Rasa ketidakpastian, kecemasan, dan kesepian, memicu nostalgia.

“Bagi banyak orang, terutama anak muda atau mereka yang tidak memiliki jaring pengaman finansial, situasi ekonomi yang buruk menimbulkan ketakutan—apakah bisa membayar sewa rumah atau cicilan utang kuliah,” kata Batcho kepada Business Insider.

“Nostalgia menjadi tempat berlindung karena orang mencari kembali rasa nyaman, aman, dan kasih sayang yang dulu mereka rasakan.”

Menurut psikolog sosial yang meneliti tentang nostalgia, Clay Routledge, dalam opininya di New York Times, fenomena ini turut dipicu oleh keresahan mereka terhadap teknologi digital. Temuan Routledge, sekitar 60% orang dewasa generasi Z berharap bisa kembali ke masa sebelum semua orang “terhubung” secara digital.

“Tentu saja, itu berarti kembali ke masa yang sebagian besar bahkan mendahului kehidupan mereka sendiri,” kata Routledge.

Routledge mengatakan, orang yang bisa merasakan nostalgia terhadap masa lalu yang belum pernah mereka alami secara langsung disebut nostalgia historis. Dia menjelaskan, nostalgia sering menjadi sumber kenyamanan, arahan, dan inspirasi.

“Hanya dengan mengenang momen indah atau mendengarkan lagu lama, suasana hati bisa membaik, rasa kebersamaan meningkat, dan hidup terasa lebih bermakna,” tulis Routledge.

“Gen Z, yang merasa resah dengan dominasi teknologi digital dalam hidup mereka, tampaknya menyalurkan nostalgia ini secara produktif ke masa-masa sebelum internet.”

Tim riset Routledge pernah bekerja sama dengan Discover.ai—sebuah perusahaan yang menganalisis tren budaya lewat percakapan daring. Tahun ini, mereka melakukan survei terhadap lebih dari 2.000 orang dewasa di Amerika Serikat.

Hasilnya, 68% generasi Z mengaku merasakan nostalgia terhadap era sebelum mereka lahir. Sebanyak 73% tertarik pada media, mode, hobi, atau tradisi dari masa itu, dan 78% percaya teknologi modern seharusnya mengadopsi ide atau desain dari periode tersebut.

“Selain itu, sekitar dua pertiga responden menyebut bahwa menjelajahi era lampau membantu meredakan stres dan kecemasan akibat kehidupan modern,” tulis Routledge.

Meski begitu, Routledge mengakui, nostalgia historis tidak hanya dirasakan generasi Z. Milenial dan generasi X juga merasakan hal yang sama, walau dalam kadar yang berbeda. Namun, yang membuat generasi Z menonjol adalah ketertarikan khusus mereka pada kehidupan analog—jarak yang lebih besar dibanding perbedaan antara generasi X dengan orang tua boomer mereka.

Jalyn Cameron, seorang mahasiswi di Howard University, Amerika Serikat, dalam artikelnya di The Hilltop menyebut, fenomena ini dikenal sebagai siklus 20 tahun, di mana tren lama kembali populer setiap dua dekade. Sesuatu yang dahulunya dianggap ketinggalan zaman, mendapat kehidupan baru karena membangkitkan rasa nostalgia.

“Saya khawatir, obsesi terhadap nostalgia justru membuat budaya kita stagnan, terjebak pada daur ulang ide lama, alih-alih melairkan sesuatu yang benar-benar baru,” kata Cameron.

“Masa lalu memang bisa menjadi sumber inspirasi, tetapi kita perlu menjaga keseimbangan—agar masa kini tetap punya identitas budaya yang unik.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan