Tak lama setelah kritik membanjiri internet, Prada mengirim surat ke asosiasi perdagangan di India dan mengakui bahwa sandal mereka terinspirasi dari alas kaki tradisional India.
Ketika rumah mode mewah asal Italia, Prada, memperkenalkan sandal kulit cokelat dengan desain khas jari kaki di peragaan busana pria di Milan bulan lalu, banyak orang langsung merasa desain itu terlihat familiar. Bukan sekadar sandal trendi, bentuknya sangat mirip dengan chappal Kolhapuri — sandal tradisional buatan tangan dari India yang sudah ada sejak abad ke-12 atau 13.
Namun, yang membuat banyak pihak geram adalah Prada tidak menyebutkan asal usul desain tersebut. Mereka hanya menyebut sandal itu sebagai “sandal kulit datar,” tanpa mengakui inspirasi budaya di baliknya. Hal ini langsung memicu kritik di media sosial. Banyak yang menuduh Prada melakukan apropriasi budaya — mengambil budaya lain tanpa izin atau penghargaan yang pantas.
Tak lama setelah kritik membanjiri internet, Prada mengirim surat ke asosiasi perdagangan di India dan mengakui bahwa sandal mereka terinspirasi dari alas kaki tradisional India. Dalam pernyataan resminya kepada CNN, mereka juga menegaskan bahwa Prada selalu berusaha “merayakan keahlian, warisan, dan desain.” Mereka bahkan menyatakan telah bertemu langsung dengan pengrajin sandal di India untuk membahas peluang kolaborasi di masa depan.
Langkah cepat Prada ini mungkin mencerminkan kesadaran baru dunia mode akan pentingnya pasar India, yang sedang berkembang pesat dan berpengaruh secara global. Tetapi kasus ini juga mengungkap masalah lama: kesenjangan pemahaman antara merek Barat dan budaya yang mereka coba angkat.
Pasar barang mewah India tumbuh pesat
Menurut firma konsultan global Kearney, nilai pasar barang mewah di India diperkirakan akan naik dari US$7,73 miliar (2023) menjadi US$11,3 miliar pada 2028 — pertumbuhan yang lebih cepat dibanding banyak negara lain.