close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: CNN
icon caption
Foto: CNN
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 25 Juli 2025 17:00

Kontroversi sandal Prada mencaplok warisan India

Tak lama setelah kritik membanjiri internet, Prada mengirim surat ke asosiasi perdagangan di India dan mengakui bahwa sandal mereka terinspirasi dari alas kaki tradisional India.
swipe

Ketika rumah mode mewah asal Italia, Prada, memperkenalkan sandal kulit cokelat dengan desain khas jari kaki di peragaan busana pria di Milan bulan lalu, banyak orang langsung merasa desain itu terlihat familiar. Bukan sekadar sandal trendi, bentuknya sangat mirip dengan chappal Kolhapuri — sandal tradisional buatan tangan dari India yang sudah ada sejak abad ke-12 atau 13.

Namun, yang membuat banyak pihak geram adalah Prada tidak menyebutkan asal usul desain tersebut. Mereka hanya menyebut sandal itu sebagai “sandal kulit datar,” tanpa mengakui inspirasi budaya di baliknya. Hal ini langsung memicu kritik di media sosial. Banyak yang menuduh Prada melakukan apropriasi budaya — mengambil budaya lain tanpa izin atau penghargaan yang pantas.

Tak lama setelah kritik membanjiri internet, Prada mengirim surat ke asosiasi perdagangan di India dan mengakui bahwa sandal mereka terinspirasi dari alas kaki tradisional India. Dalam pernyataan resminya kepada CNN, mereka juga menegaskan bahwa Prada selalu berusaha “merayakan keahlian, warisan, dan desain.” Mereka bahkan menyatakan telah bertemu langsung dengan pengrajin sandal di India untuk membahas peluang kolaborasi di masa depan.

Langkah cepat Prada ini mungkin mencerminkan kesadaran baru dunia mode akan pentingnya pasar India, yang sedang berkembang pesat dan berpengaruh secara global. Tetapi kasus ini juga mengungkap masalah lama: kesenjangan pemahaman antara merek Barat dan budaya yang mereka coba angkat.

Pasar barang mewah India tumbuh pesat
Menurut firma konsultan global Kearney, nilai pasar barang mewah di India diperkirakan akan naik dari US$7,73 miliar (2023) menjadi US$11,3 miliar pada 2028 — pertumbuhan yang lebih cepat dibanding banyak negara lain.

Pendorong utama pertumbuhan ini adalah kelas menengah yang terus tumbuh, urbanisasi, dan generasi muda yang melek merek serta mengikuti tren internasional. Tapi menurut desainer ternama India, Gaurav Gupta, konsumen barang mewah di India kini bukan hanya orang kaya lama. Mereka datang dari latar belakang yang beragam, seperti wirausahawan muda, seniman, hingga warga global yang mencari makna lebih dari sekadar logo mahal.

Gupta menambahkan, merek-merek besar tak cukup hanya hadir secara fisik di India. Mereka harus memahami nilai emosional dan budaya lokal.

India sudah lama menginspirasi dunia mode Barat — dari piyama hingga kain kotak-kotak Madras. Tapi kini, dengan akses internet yang lebih luas dan meningkatnya kebanggaan budaya, masyarakat India semakin vokal dalam menuntut pengakuan.

Toolika Gupta, Direktur Institut Kerajinan dan Desain India (IICD), mengatakan banyak pengrajin dan desainer India kini sadar akan hak mereka. Mereka ingin budaya dan karya mereka diakui dan dihargai, bukan sekadar dijiplak tanpa izin.

Contoh serupa sebelumnya juga pernah terjadi

Tahun 2019, Gucci menuai protes karena menjual turban biru seharga US$790, yang sangat mirip dengan turban tradisional Sikh. Komunitas Sikh di berbagai negara merasa tersinggung karena simbol agama mereka diperlakukan seperti aksesori fesyen.

Baru-baru ini, brand pakaian Reformation dikritik karena merilis blus, rok, dan syal yang sangat mirip dengan lehenga — pakaian adat wanita India. Banyak yang menilai mereka gagal memberikan penghargaan atau menyebut asal-usul desainnya.

H&M juga sempat mendapat kritik karena menjual atasan dan celana transparan yang dinilai mirip dengan salwar kameez, pakaian tradisional India lainnya. H&M beralasan desain mereka terinspirasi dari tren modern seperti layering dan pakaian transparan.

Tak hanya merek-merek besar, bahkan konten media sosial pun bisa menjadi medan perdebatan budaya. Tahun lalu, perusahaan penyewaan busana Bipty mengunggah video TikTok yang menampilkan perempuan kulit putih mengenakan selendang transparan. Mereka menyebut tampilannya sebagai "gaya Eropa yang chic."

Namun, banyak orang Asia Selatan di TikTok dengan cepat mengenalinya sebagai dupatta — bagian penting dari pakaian adat India. Mereka lalu membuat video balasan dengan nada sarkastik, menyebutnya sebagai “syal Skandinavia,” dan menyoroti bagaimana budaya mereka diambil dan digambarkan dengan cara yang keliru. (CNN)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan