Layar tancap, antara nostalgia dan propaganda

Dahulu, pengusaha film keliling membawa rol-rol film, proyektor, dan layar untuk menghibur para tamu undangan saat ada hajatan.

Sebuah layar tancap di daerah Bandung. Layar tancap sangat sering ditemui pada 1970-an hingga awal 1990-an/facebook.com/suyoto.achamdi.

Usia Timan masih 30 tahun kala film Pantang Mundur (1985) diputar di layar putih membentang di lapangan dekat rumahnya di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Layar itu dibentangkan di antara dua tiang bambu yang dipacak di tanah. Sorot lampu dari proyektor menghasilkan gambar tontonan hingga dini hari.

Dahulu, pengusaha film keliling membawa rol-rol film, proyektor, dan layar untuk menghibur para tamu undangan saat ada hajatan.

Kenangan indah menonton layar tancap

Sekitar 1970-an hingga awal 1990-an, mengundang pengusaha film keliling menjadi semacam pengerek gengsi si empunya hajat. Kalau sekarang, mirip-mirip mengundang kelompok organ tunggal.

“Dulu kan zaman susah. Hiburan satu-satunya yang dipunyai ya cuma nonton layar tancap itu. Ongkos ngundangnya pun dulu kan mahal, tapi ada aja tiap minggu orang yang punya hajatan dan ngundang layar tancap,” kata Timan, mengenang masa-masa indah menonton layar tancap, saat berbincang dengan reporter Alinea.id di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, Rabu (23/1).