Bukan berarti anak harus terus berada di ruang bersama. Justru, keseimbangan antara privasi dan koneksi sangat penting.
Tak semua anak mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata. Kadang, ruang yang mereka pilih untuk menghabiskan waktu bisa menjadi cerminan emosi yang tersembunyi — apakah itu kehangatan ruang keluarga, atau ketenangan kamar pribadi.
Psikolog Klinis Dr. Kimberly Chew, pendiri AO Psychology, memperkenalkan dua istilah menarik: "anak ruang keluarga" dan "anak kamar tidur". Keduanya bukan label, melainkan lensa untuk memahami kebutuhan emosional anak-anak secara lebih dalam.
Menurut Dr. Chew, anak yang lebih sering berada di ruang keluarga cenderung terbuka dan senang berinteraksi. Mereka merasa nyaman berbagi ruang dengan orang lain, menikmati kegiatan bersama seperti menonton film atau bermain game, dan memproses emosi melalui kehadiran sosial.
Sebaliknya, anak kamar tidur mencari kesendirian. Bukan karena mereka bermasalah, tetapi karena mereka menemukan ketenangan dalam ruang pribadi. Bagi sebagian anak — terutama yang introvert, sensitif, atau neurodivergen — keramaian bisa terasa melelahkan, dan kamar menjadi tempat yang aman untuk mengisi ulang energi.
Dr. Chew menekankan bahwa preferensi ruang ini dipengaruhi oleh berbagai faktor: kepribadian, tahap perkembangan, bahkan dinamika keluarga. Misalnya, remaja secara alami mulai mencari kemandirian, dan kamar tidur mereka menjadi simbol pemisahan dari orang tua. Anak yang merasa kewalahan oleh kebisingan rumah pun bisa memilih menyendiri sebagai bentuk pengaturan diri — bukan penolakan terhadap keluarga.