Tak semua anak mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata. Kadang, ruang yang mereka pilih untuk menghabiskan waktu bisa menjadi cerminan emosi yang tersembunyi — apakah itu kehangatan ruang keluarga, atau ketenangan kamar pribadi.
Psikolog Klinis Dr. Kimberly Chew, pendiri AO Psychology, memperkenalkan dua istilah menarik: "anak ruang keluarga" dan "anak kamar tidur". Keduanya bukan label, melainkan lensa untuk memahami kebutuhan emosional anak-anak secara lebih dalam.
Menurut Dr. Chew, anak yang lebih sering berada di ruang keluarga cenderung terbuka dan senang berinteraksi. Mereka merasa nyaman berbagi ruang dengan orang lain, menikmati kegiatan bersama seperti menonton film atau bermain game, dan memproses emosi melalui kehadiran sosial.
Sebaliknya, anak kamar tidur mencari kesendirian. Bukan karena mereka bermasalah, tetapi karena mereka menemukan ketenangan dalam ruang pribadi. Bagi sebagian anak — terutama yang introvert, sensitif, atau neurodivergen — keramaian bisa terasa melelahkan, dan kamar menjadi tempat yang aman untuk mengisi ulang energi.
Dr. Chew menekankan bahwa preferensi ruang ini dipengaruhi oleh berbagai faktor: kepribadian, tahap perkembangan, bahkan dinamika keluarga. Misalnya, remaja secara alami mulai mencari kemandirian, dan kamar tidur mereka menjadi simbol pemisahan dari orang tua. Anak yang merasa kewalahan oleh kebisingan rumah pun bisa memilih menyendiri sebagai bentuk pengaturan diri — bukan penolakan terhadap keluarga.
Namun, kesendirian yang sehat berbeda dengan isolasi yang mengkhawatirkan. Ada beberapa tanda yang perlu diperhatikan:
Anak tiba-tiba menarik diri dari kegiatan yang sebelumnya ia sukai
Menolak bersosialisasi, bahkan dengan teman dekat
Terlihat murung, mudah tersinggung, atau kehilangan semangat
Pola tidur dan makan berubah drastis
Menghabiskan waktu berlebihan di depan layar tanpa keterlibatan emosional
Bukan berarti anak harus terus berada di ruang bersama. Justru, keseimbangan antara privasi dan koneksi sangat penting. Dr. Chew menggambarkan proses ini sebagai “tarian, bukan tarik tambang.” Kuncinya bukan memaksa anak keluar dari kamarnya, tetapi membangun jembatan agar mereka merasa dilihat dan diterima, di mana pun mereka berada.
Beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan orang tua:
Hormati batasan: Ketuk sebelum masuk kamar. Undang, bukan paksa.
Ciptakan ritual: Sarapan Minggu pagi atau makan malam bersama bisa jadi momen pengikat.
Gunakan momen kecil: Tinggalkan catatan manis, tawarkan camilan, atau ikut duduk saat mereka bermain game. Itu adalah bentuk kehadiran yang lembut tapi bermakna.
Jika ingin terhubung dengan anak yang lebih tertutup, lakukan pendekatan yang kolaboratif. Ajak mereka membantu di dapur dengan nada santai. Bangun rutinitas kecil yang tidak menuntut, seperti jalan sore bersama. Dengarkan musik atau tonton anime favorit mereka, bukan untuk mengubah, tapi untuk mengenal.
Dan jangan lupa: pintu yang tertutup tidak selalu berarti hati yang tertutup. Terkadang, cukup dengan menunjukkan bahwa Anda selalu ada — secara harfiah maupun emosional — sudah membuat perbedaan besar.
Akhirnya, rumah bukan hanya soal ruang fisik, tapi juga ruang emosional. Ruang keluarga menawarkan kehangatan komunitas. Kamar tidur menumbuhkan kemandirian dan refleksi. Anak Anda bisa memilih salah satu atau bergantian — yang penting adalah merasa bahwa, di manapun mereka berada, mereka dicintai, dilihat, dan diterima.
Karena tujuan kita bukan menghapus perbedaan, tapi memahami dan memeluknya. Dan dari sanalah, koneksi emosional yang kuat akan tumbuh.(asiaone)