close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Pixabay
icon caption
Foto: Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 23 Juli 2025 20:03

Kegagapan para orang tua menghadapi AI dalam mendidik anak

Salah satu tantangan utama dalam pengasuhan terkait AI adalah minimnya penelitian ilmiah tentang dampak teknologi ini terhadap perkembangan anak.
swipe

Ketika kecerdasan buatan (AI) berkembang begitu pesat dan mulai menyusup ke setiap sisi kehidupan, para orang tua di seluruh dunia dihadapkan pada dilema besar: apakah mereka harus melindungi anak-anak dari teknologi yang belum sepenuhnya dipahami, atau justru membekali mereka sedini mungkin untuk menghadapi masa depan yang tak terelakkan? 

Ketidakpastian ini menciptakan ketegangan tersendiri—antara rasa takut dan rasa tanggung jawab, antara kesiapan dan kekhawatiran. 

Perkembangan kecerdasan buatan generatif telah melahirkan kecemasan baru di kalangan orang tua. Banyak yang merasa terjebak di antara ketakutan terhadap hal yang belum diketahui dan kekhawatiran bahwa anak-anak mereka akan tertinggal dalam persaingan global.

“Sangat sulit untuk memprediksi apa pun dalam lima tahun ke depan,” ujar Adam Tal, seorang eksekutif pemasaran asal Israel sekaligus ayah dari dua anak laki-laki berusia tujuh dan sembilan tahun.

Tal mengaku sangat khawatir terhadap dampak jangka panjang teknologi ini. Mulai dari ancaman deepfake, kesulitan membedakan realitas dari simulasi AI, hingga potensi risiko lain yang belum mereka pahami atau siap deteksi. “Ada ribuan kemungkinan ancaman baru yang saya bahkan tidak terlatih untuk mendeteksinya,” kata Tal.

Kekhawatiran serupa datang dari Mike Brooks, seorang psikolog di Austin, Texas, yang fokus pada isu pengasuhan dan teknologi. Ia menilai banyak orang tua menutup mata terhadap AI karena sudah kewalahan dengan tantangan lain, mulai dari pornografi daring, kecanduan TikTok dan gim video, hingga upaya sederhana seperti mengajak anak keluar dari kamar dan berinteraksi dengan dunia nyata.

Namun, tak semua orang tua bersikap pasif. Melissa Franklin, seorang ibu di Kentucky sekaligus mahasiswa hukum, memilih untuk mengeksplorasi dunia AI bersama anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun.

“Saya tidak mengerti teknologi di balik AI,” ujarnya jujur. “Tetapi saya tahu ini tak terelakkan. Saya lebih suka anak saya mengenalnya lebih awal daripada nanti kewalahan.” Di lingkaran sosial dan keluarganya, Melissa mengaku menjadi satu-satunya yang aktif mengenalkan AI secara sadar kepada anak.

Marc Watkins, profesor di Universitas Mississippi yang mendalami peran AI dalam pendidikan, menyebut bahwa saat ini masyarakat “sudah terlalu jauh” untuk sepenuhnya melindungi anak dari eksposur AI. Ia melihat satu-satunya jalan ke depan adalah pemahaman, pendampingan, dan percakapan terbuka antara orang tua dan anak.

Kurangnya Riset, Banyak Keraguan

Salah satu tantangan utama dalam pengasuhan terkait AI adalah minimnya penelitian ilmiah tentang dampak teknologi ini terhadap perkembangan anak. Beberapa orang tua mengacu pada studi MIT yang dirilis Juni lalu. Studi tersebut menunjukkan bahwa individu yang tidak menggunakan AI generatif memiliki aktivitas otak dan daya ingat yang lebih tinggi dibanding mereka yang mengandalkannya.

“Saya khawatir AI akan menjadi jalan pintas,” ujar seorang ayah tiga anak yang tak ingin disebutkan namanya. Ia kini membatasi penggunaan AI oleh anak-anaknya hanya untuk memperdalam pengetahuan, bukan sebagai solusi instan.

Tal sendiri memilih menunda akses anak-anaknya terhadap perangkat berbasis AI, sementara Franklin mengizinkan penggunaannya secara terbatas dan diawasi, terutama saat anaknya ingin mencari informasi yang tidak tersedia di buku, Google, atau YouTube. Baginya, anak harus tetap dilatih untuk “berpikir sendiri”—baik dengan atau tanpa AI.

Realitas yang tak merata

Namun tak semua orang tua percaya bahwa mereka bisa sepenuhnya membimbing anak-anak dalam memahami AI. Seorang insinyur komputer yang juga ayah dari remaja 15 tahun berpendapat bahwa mayoritas anak akan mempelajari teknologi ini dari lingkungan mereka, bukan dari rumah.

"Itu seperti mengklaim bahwa anak-anak belajar cara menggunakan TikTok dari orang tua mereka," ujarnya. "Biasanya justru sebaliknya."

Watkins, yang juga seorang ayah, mengaku sangat khawatir terhadap bentuk baru AI generatif. Namun ia melihat kebutuhan mendesak untuk membekali anak-anak dengan pengetahuan dan wawasan kritis. "Mereka akan menggunakan AI," katanya, "jadi saya ingin mereka memahami potensi manfaat dan risikonya."

Jalan tak sama untuk semua anak

CEO Nvidia, Jensen Huang, pernah menyebut AI sebagai “kekuatan pemerataan terbesar yang pernah kita kenal,” karena memungkinkan siapa pun mengakses pembelajaran dan pengetahuan. Namun Watkins melihat ancaman ketimpangan baru di balik pernyataan itu.

“Orang tua akan melihat ini sebagai teknologi untuk dimanfaatkan kalau Anda mampu, demi memberi keunggulan pada anak Anda,” kata Watkins.

Pernyataan itu diamini oleh seorang ilmuwan komputer yang menyebut bahwa anaknya memang memiliki keuntungan karena kedua orang tuanya memiliki gelar PhD di bidang ilmu komputer. Tapi, menurutnya, keunggulan itu lebih karena faktor ekonomi.

“Bukan karena kami tahu lebih banyak tentang AI, tapi karena kami punya akses yang lebih baik,” ujarnya. “Dan itu memiliki implikasi yang cukup besar.” (AFP)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan