Tradisi kerokan dan fakta di baliknya

Metode pengobatan semacam kerokan juga dikenal di Vietnam, Kamboja, dan China.

Warna merah yang terjadi di bagian tubuh yang digurat menjadi ukuran berat atau ringannya masuk angin. /Alinea.id/Sulthanah Utarid.

Sebulan sekali Suwarno, seorang guru di sebuah SMP di Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat mesti pulang ke kampung halamannya untuk bersua keluarga di Simo, Boyolali, Jawa Tengah.

Untuk menempuh perjalanan yang jauh itu, ia menggunakan pesawat ke Solo. Kemudian melanjutkan perjalanan dari Bandara Adi Sumarmo ke Boyolali. Tak jarang, ia mengalami pegal-pegal. Bila sudah begini, kerokan menjadi solusi baginya.

“Sudah biasa kerokan sejak masih kecil, kebiasaan dari orang tua. Sekarang kalau pulang ke rumah, masih suka kerokan,” ujarnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (5/3).

Suwarno berkisah, di kampung halamannya, orang tua terbiasa menggurat punggung anak-anak mereka dengan uang logam, jika kondisi badan kurang fit. Kerokan menjadi solusi singkat orang Indonesia, terutama di Jawa, untuk mengurangi kondisi badan yang kurang sehat.

Selain Suwarno, Amrin Sitanggang, karyawan swasta di sebuah toko pakaian daerah Jembatan Lima, Jakarta Barat juga mengatasi kondisi badan kurang segar dengan kerokan.