Jalan zig-zag RUU Ciptaker

Polemik hampir selalu menyelimuti perjalanan Rancangan Undang-Undang Ciptaker (RUU Ciptaker).

Polemik hampir selalu menyelimuti perjalanan Rancangan Undang-Undang Ciptaker (RUU Ciptaker). Jauh sebelum serangkaian demo besar-besaran menolak RUU Ciptaker digelar kelompok buruh dan mahasiswa pada 6-9 Oktober lalu, beleid sapu jagat itu sudah sering jadi sasaran kritik. 

Pada pertengahan Februari lalu, draf RUU itu ramai-ramai "dihujat" lantaran memasukan pasal ajaib. Di pasal itu, terdapat aturan bahwa pemerintah pusat bisa mengubah undang-undang dan tak wajib mengantongi persetujuan DPR. Pasal itu akhirnya dihapus dengan dalih salah ketik. 

Pembahasan RUU yang dikebut selama pandemi Covid-19 juga jadi polemik. Kalangan buruh, aktivis, dan pakar mempertanyakan langkah DPR dan pemerintah tersebut. Di Senayan, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera lantang bersuara menuntut RUU itu dihentikan pembahasannya. 

Meski begitu, DPR dan pemerintah jalan terus. Pada 3 Oktober lalu, rapat kerja Baleg DPR dan pemerintah menyepakati naskah RUU Ciptaker dibawa ke paripurna. Di rapat paripurna dua hari berikutnya pengesahan RUU Ciptaker digelar di DPR tanpa disertai pembagian salinan draf final RUU. Rapat diwarnai aksi walk out fraksi Demokrat. 

Guru besar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Ni'matul Huda meminta Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mencabut RUU tersebut. Ia menilai uji materi RUU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi (MK) bakal sia-sia.