Kolom

AI Bukan untuk yang Malas

Dan jika pada akhirnya AI mengubah segalanya, biarlah ia juga mengubah kita menjadi lebih manusiawi, bukan kurang. Biarlah ia menjadi cermin yang memantulkan bukan hanya wajah kita, tapi juga hati nurani kita.

Senin, 30 Juni 2025 17:43

*Di pagi yang redup ini, saya menonton sejenak layar komputer yang memantulkan wajah saya. Ah, pantulan wajah itu kini berteman dengan sesuatu yang tidak terlihat, tetapi hadir.

Sesuatu yang dalam dua tahun terakhir kita sebut kecerdasan buatan-artificial intelligence (AI). Mungkin kita memang tak bisa lagi hidup tanpa si AI ini, seperti kita tak bisa hidup tanpa bayangan.

Disrupsi, kata yang populer belakangan ini. Arti harfiahnya: gangguan, kekacauan. Tetapi kita menerimanya dengan gembira, bahkan merayakannya. Seolah-olah kita telah lama merindukan sebuah kekacauan yang membebaskan. Beberapa pengamat teknologi menyebutnya disrupsi terbesar dalam sejarah manusia-lebih besar dari Revolusi Industri, lebih dahsyat dari penemuan internet.

Benarkah? Saya ragu. Sejarah tak pernah bergerak dengan lompatan-lompatan spektakuler seperti yang kita bayangkan. Ia bergerak dalam irisan-irisan halus yang hampir tak terasa, seperti sembilu yang mengiris kulit: perih tetapi kadang terlambat dirasakan.

**

Hannie Kusuma Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait