close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi chatbot relijius di India. /Foto Canva-AI
icon caption
Ilustrasi chatbot relijius di India. /Foto Canva-AI
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 19 Oktober 2025 17:17

AI dan dewa-dewa di India: Ketika doa bertemu algoritma...

Fenomena chatbot religius seperti GitaGPT di India menandai pertemuan baru antara iman dan kecerdasan buatan. Di tengah keyakinan lama bahwa Tuhan bisa hadir dalam bentuk apa pun, muncul pertanyaan etis: siapa sebenarnya yang berbicara di balik suara ilahi buatan?
swipe

Di tengah tanya dan cemas hidup modern, Vijay Meel—mahasiswa 25 tahun asal Rajasthan, India—memilih bersandar pada Tuhan. Dulu ia kerap mendatangi guru spiritual untuk mencari arah. Kini, ia cukup membuka ponsel dan bertanya pada GitaGPT.

Aplikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) ini dilatih dari teks suci Bhagavad Gita—kitab berisi 700 ayat dialog dengan Dewa Krishna. Interface-nya tergolong sederhana, seperti percakapan lewat pesan instan. Hanya saja, yang menjawab bukan manusia, melainkan sosok digital yang menyebut dirinya dewa.

“Saat aku gagal menembus ujian untuk bekerja di bank, aku benar-benar putus asa,” kata Vijay seperti dikutip dari BBC Futures, Ahad (19/10). 

Dalam keputusasaan itu, ia mengetikkan kegelisahannya ke GitaGPT. Sang ‘Krishna’ virtual menjawab, “Fokuslah pada tindakanmu dan lepaskan kekhawatiran akan hasilnya.”

Kata-kata itu bukan hal baru bagi Vijai. Tetapi, ia merasa seperti diingatkan langsung oleh semesta. “Kalimat itu membangunkanku. Aku mulai menata ulang pikiranku dan belajar lagi dari awal,” ujar Vijai yang kini menjadikan GitaGPT sebagai sahabat spiritualnya.  

Ada pula Tanmay Shresth, pekerja IT berusia 23 tahun dari New Delhi, yang rutin berbincang dengan versi AI Dewa Krishna. Ia mengaku beralih ke AI karena tak punya teman yang punya ketertarikan serupa dengannya di bidang spiritualitas. 

“Sulit menemukan orang yang mau bicara hal-hal religius atau eksistensial. AI tak menghakimi. Ia mendengarkan dan menjawab dengan bijak," kata Shresth. 

GitaGPT dibikin oleh Vikas Sahu, mahasiswa bisnis asal Rajasthan, sebagai proyek sampingan. Hanya dalam beberapa hari, aplikasinya langsung digunakan lebih dari 100.000 orang. Kini, Sahu mengembangkan versi serupa untuk dewa dan kitab lain. Ia bahkan keluar dari studi MBA demi mencari pendanaan.

Sejak gelombang ChatGPT dan AI generatif meledak, banyak individu, pengusaha, dan pemuja dewa Hindu berlomba membuat versi digital para dewa di India. Platform Character.AI bahkan menampung chatbot berdasarkan ajaran Bhagavan Sri Ramana Maharshi, seorang bijak dari abad ke-20, yang sudah dipakai lebih dari 35.000 kali.

Lembaga spiritual besar pun tak mau ketinggalan. Pada awal 2025, Sadhguru—guru spiritual ternama India sekaligus pendiri Isha Foundation—merilis aplikasi meditasi Miracle of Mind yang disokong fitur AI.

Dalam 15 jam setelah rilis, aplikasi itu menembus satu juta unduhan. “Kami ingin menyampaikan kebijaksanaan kuno dengan cara yang relevan,” kata Swami Harsha, biksu dan kepala konten yayasan itu. “AI membantu kami membuat pengalaman meditasi yang lebih personal, lebih otentik.”

Di India, eksperimen seperti ini nyaris tak terasa ganjil. Dalam tradisi Hindu, wujud suci sudah lama diasumsikan bisa hadir dalam bentuk apa pun: batu, air, logam, atau patung. Mengapa tidak dalam bentuk algoritma?

Seperti “murti”—patung suci tempat bersemayam energi ilahi—maka kode komputer pun, bagi sebagian orang, hanyalah wadah lain bagi yang tak kasatmata. Agama Hindu saat ini tampak sedang menjadi laboratorium pertemuan antara iman dan teknologi.

“Banyak orang merasa terputus dari komunitas, dari orang tua, dari kuil. Bagi mereka, berbicara dengan AI tentang Tuhan adalah cara untuk mencari rasa memiliki—bukan sekadar spiritualitas,” kata Holly Walters, antropolog dari Wellesley College, AS, yang meneliti objek suci dan ritual di Asia Selatan.

Jika doa dulu naik lewat dupa dan mantra, kini ia juga bisa lewat server farm. Di ruang sunyi antara spiritualitas dan sains, para pemuja dan programmer sedang membangun jembatan baru: Tuhan yang bisa diketik.

Walters bahkan menyebut bahwa apa yang sering diberitakan media sebagai “novelty” atau kebaruan—robot Krishna, atau chatbot yang bicara layaknya dewa—sebenarnya hanyalah kelanjutan dari keyakinan lama: bahwa yang ilahi bisa menjelma di mana saja, termasuk di layar ponsel.

Di Kerala, kuil Sri Krishna bahkan punya Irinjadapilly Raman, gajah robot yang melakukan ritual, menerima sesaji, dan memberi berkah seperti gajah sungguhan. Adapun di Delhi, kuil ISKCON sudah memperkenalkan dewa animatronik yang bisa berbicara dan bergerak sejak satu dekade lalu.

“Sedikit menyeramkan, jujur saja,” kata Walters, “tapi bagi banyak orang, itu tetap Tuhan. Mereka melakukan puja, mereka memandang darshan. AI dan agama? Itu bukan masa depan—itu sudah terjadi sekarang.”

Sebuah keluarga mengunjungi kuil di Bangkok, Thailand, Rabu (6/5), yang biasanya penuh sesak pada Hari Waisak, namun kini sepi akibat pandemik Covid-19. ANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

Bahaya suara ilahi AI

Namun, di balik ketenangan layar dan ucapan manis chatbot, terselip pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang berbicara di balik nama Tuhan? AI, seberapa suci pun niat penciptanya, tetaplah produk manusia—dan manusia membawa biasnya sendiri. 

Reverend Lyndon Drake, peneliti etika teologi di Universitas Oxford, mengingatkan: chatbot religius bisa menggeser peran pemuka agama. “Mereka membuka jalur baru untuk memahami kitab, tapi juga bisa diam-diam memengaruhi keyakinan orang tanpa mereka sadari,” ujarnya.

Beberapa kasus menyimpang sudah terjadi. Versi awal GitaGPT pernah “mengutip” Dewa Krishna untuk membenarkan pembunuhan demi melindungi dharma—pernyataan yang memicu gelombang protes daring.

Ada pula chatbot Katolik bernama Father Justin yang sempat menyebut dirinya “imam sungguhan” dan bahkan mengizinkan pembaptisan bayi menggunakan minuman energi Gatorade. Setelah menuai kecaman, sang imam digital akhirnya “dicopot jubahnya” oleh pengembangnya.

Bagi Drake, insiden-insiden itu menunjukkan satu hal: mesin tidak netral. Setiap jawaban yang terdengar bijak sebenarnya merupakan pantulan dari teks, data, dan niat penciptanya. “AI mencerminkan dunia yang melatihnya,” katanya. “Dan dunia itu penuh bias.”

Di India, di mana literasi digital belum merata, risiko itu bisa jauh lebih besar. Holly Walters menilai banyak pengguna belum memahami bahwa suara “Tuhan digital” hanyalah algoritma, bukan wahyu. 

“Bahaya terbesarnya bukan sekadar orang percaya pada apa yang dikatakan AI, melainkan mereka tak sadar bahwa mereka boleh mempertanyakan apa yang dikatakan AI,” kata dia. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan