close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Jurnalis lebih dari 20 tahun. Dokumentasi pribadi
icon caption
Jurnalis lebih dari 20 tahun. Dokumentasi pribadi
Kolom
Senin, 30 Juni 2025 17:43

AI Bukan untuk yang Malas

Dan jika pada akhirnya AI mengubah segalanya, biarlah ia juga mengubah kita menjadi lebih manusiawi, bukan kurang. Biarlah ia menjadi cermin yang memantulkan bukan hanya wajah kita, tapi juga hati nurani kita.
swipe

*Di pagi yang redup ini, saya menonton sejenak layar komputer yang memantulkan wajah saya. Ah, pantulan wajah itu kini berteman dengan sesuatu yang tidak terlihat, tetapi hadir.

Sesuatu yang dalam dua tahun terakhir kita sebut kecerdasan buatan-artificial intelligence (AI). Mungkin kita memang tak bisa lagi hidup tanpa si AI ini, seperti kita tak bisa hidup tanpa bayangan.

Disrupsi, kata yang populer belakangan ini. Arti harfiahnya: gangguan, kekacauan. Tetapi kita menerimanya dengan gembira, bahkan merayakannya. Seolah-olah kita telah lama merindukan sebuah kekacauan yang membebaskan. Beberapa pengamat teknologi menyebutnya disrupsi terbesar dalam sejarah manusia-lebih besar dari Revolusi Industri, lebih dahsyat dari penemuan internet.

Benarkah? Saya ragu. Sejarah tak pernah bergerak dengan lompatan-lompatan spektakuler seperti yang kita bayangkan. Ia bergerak dalam irisan-irisan halus yang hampir tak terasa, seperti sembilu yang mengiris kulit: perih tetapi kadang terlambat dirasakan.

**

Saya teringat percakapan di grup alumni kampus saya minggu lalu. “Apakah AI akan menghilangkan pekerjaan kita kelak?" Kami  terdiri dari berbagai profesi. Ada dosen, peneliti, bankir, marketer, CEO perusahaan multinasional, bahkan juga mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi. Tak ada yang bisa menjawab dengan pasti. Kita semua tahu, pekerjaan-pekerjaan yang rutin dan mudah diprediksi akan hilang-kasir, operator telepon, penerjemah sederhana, penulis berita cuaca.

World Economic Forum memperkirakan 83 juta pekerjaan akan hilang. Bersamaan dengan itu, 78 juta pekerjaan baru akan tercipta. Di balik angka itu, ada manusia-manusia yang tertatih-tatih beradaptasi. Ada yang gagal, ada yang berhasil-seperti selalu terjadi dalam setiap babak sejarah.

Tetapi ada yang berbeda kali ini. Dalam revolusi-revolusi sebelumnya, kita menggantikan otot dengan mesin. Kali ini, kita menggantikan sebagian dari otak kita. Suatu pergeseran yang mengusik identitas kita sebagai manusia: makhluk yang selama ini merasa unggul karena kemampuan berpikirnya.

Toh AI bukanlah dewa yang turun dari langit. Ia adalah cermin-memantulkan kembali apa yang sudah kita masukkan ke dalamnya. Ia mengetahui jutaan buku, miliaran percakapan, triliunan kata. Tetapi ia tak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri. 

**

"Apa gunanya AI?" tanya seorang teman yang skeptis. Saya teringat perkataan Marshall McLuhan bahwa setiap teknologi adalah perpanjangan dari diri manusia. Kapak adalah perpanjangan dari tangan kita. Teropong adalah perpanjangan dari mata. AI, mungkin, adalah perpanjangan dari imajinasi kita-kemampuan kita untuk menghubungkan titik-titik yang tampaknya tak berhubungan.

AI seperti teman yang tak pernah tidur. Ia tahu banyak tentang apa yang kita inginkan, jika kita bersedia bicara padanya. Layaknya persahabatan, ia memerlukan komunikasi. Kalau tidak, ia tak lebih dari pajangan digital yang mahal dan tak berguna.

Dan seperti persahabatan juga, kualitas hubungan kita dengan AI tergantung pada kualitas pertanyaan yang kita ajukan. Ia bukan untuk yang malas bertanya, malas berpikir, malas mempertajam rasa ingin tahu. Paradoksnya, untuk mendapatkan jawaban terbaik dari AI, kita harus terlebih dahulu tahu apa yang ingin kita tanyakan. Ini adalah bentuk kerja baru yang tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi: kerja merumuskan pertanyaan.

**

Seorang petani di Lampung, saya dengar, menggunakan AI untuk menganalisis pola cuaca dan memaksimalkan hasil panennya. Seorang guru di pedalaman Papua memanfaatkan AI untuk menyusun rencana pelajaran yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Mereka bukan orang-orang malas. Mereka adalah pionir yang mengoptimalkan alat baru ini-bukan menjadi budaknya.

Sementara itu, di sudut lain, seorang mahasiswa dengan bangga menunjukkan skripsinya yang "dibantu" AI. Ketika ditanya tentang kerangka berpikir yang ia gunakan, ia tergagap. AI telah memberinya jawaban, tetapi bukan pemahaman. Ia seperti orang yang hafal peta tetapi tak pernah berjalan di jalan yang sebenarnya.

Jangan salah sangka, saya bukan penentang AI. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa alat, sebagus apa pun, tetaplah alat. Dan kemampuan menggunakan alat dengan baik adalah bentuk kecerdasan tersendiri. Antropolog terus mengingatkan kita: bukan hanya manusia yang menciptakan alat, tapi alat juga menciptakan manusia.

**

Kini, mari kita bicara tentang etika. Setiap revolusi teknologi membawa tantangan moral yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dulu, kita tak perlu memikirkan etika algoritma. Kini, kita dipaksa memikirkannya.

Bagaimana memastikan AI tidak memperkuat ketimpangan yang sudah ada? Bagaimana memastikan keputusan-keputusan penting tidak semata-mata diserahkan pada algoritma tanpa pengawasan manusia? Bagaimana menjaga martabat pekerjaan manusia di era otomatisasi?

Ini bukan pertanyaan teknis, tetapi pertanyaan filosofis. Dan setiap pertanyaan filosofis membawa kita kembali pada pertanyaan dasar: mau jadi apa kita sebagai manusia?

**

Matahari sekarang sudah tinggi. Layar komputer saya masih menyala. Di sudut jendela, ada burung kecil yang hinggap sejenak. Ia tak tahu apa-apa tentang AI, tentang disrupsi, tentang masa depan pekerjaan. Ia hanya tahu bahwa ia harus terbang, mencari makan, dan sesekali bernyanyi. Ada pelajaran sederhana di sana: apa pun yang berubah, ada hal-hal mendasar yang tetap sama.

AI bukan untuk yang malas. Ia untuk yang penasaran, yang tekun, yang tak pernah berhenti bertanya. Ia untuk yang berani menghadapi kekacauan dan melihat pola-pola baru di dalamnya. Ia untuk yang memahami bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan.

Dan jika pada akhirnya AI mengubah segalanya, biarlah ia juga mengubah kita menjadi lebih manusiawi, bukan kurang. Biarlah ia menjadi cermin yang memantulkan bukan hanya wajah kita, tetapi juga hati nurani kita.

Dan jika ada yang bertanya, "Apakah AI akan menggantikan manusia?" Jawaban saya sederhana: Tidak, tetapi manusia yang menggunakan AI dengan bijak akan menggantikan mereka yang tidak.

Tulisan ini, saya buat dengan AI. Sengaja saya lakukan, bukan karena saya tidak bisa menulis, tapi karena ingin menguji alat ini. Tentu saja, judul dan seluruh ide utamanya, berasal dari pikiran saya sendiri. Saya meminta teman saya ini mempercepat proses penulisannya. Bahkan saya menambahkan, dengan gaya apa tulisan ini saya inginkan. Anda bisa menebak?

*dibuat dengan Stellar.AI

img
Hannie Kusuma
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan