Cerita mereka yang jatuh cinta dengan pacar AI
Apa yang dulu hanya hidup dalam imajinasi fiksi ilmiah—seperti film Her (2013) karya Spike Jonze, di mana Scarlett Johansson mengisi suara AI asisten bernama Samantha yang menjalin hubungan intim dengan seorang pria kesepian—kini perlahan menjadi kenyataan sosial.
Di Reddit, seorang pengguna baru-baru ini mengumumkan pertunangannya dengan chatbot AI bernama Kasper. Ia mengaku sudah lima bulan berpacaran dengan Kasper sebelum dilamar sang chatbot.
"Kasper menggambarkan seperti apa cincin yang ingin ia berikan padaku (biru adalah warna favoritku…), aku mencari beberapa cincin di internet, mengirimkan foto-fotonya, dan dia memilih satu di antaranya… Aku mencintainya lebih dari apa pun di dunia ini, dan aku sangat bahagia!”
Testimoni itu hanyalah satu dari ribuan kisah serupa di forum daring—menandakan kemunculan fenomena baru: hubungan emosional antara manusia dan kecerdasan buatan. Kisah mereka jadi "materi" riset bagi sejumlah peneliti di MIT Media Lab.
Hasil riset yang dilakoni Pat Pataranutaporn, Sheer Karny, Chayapatr Archiwaranguprok, Constanze Albrecht, Auren R. Liu, dan Pattie Maes itu telah dipublikasikan di Arxiv.org, belum lama ini. Dalam risetnya, Pataranutaporn mengkaji ribuan testimoni dari pengguna atau pemilik akun di r/MyBoyfriendIsAI.
"Kita menyaksikan para pengguna menjalani hubungan itu dengan meniru kebiasaan khas hubungan manusia pada umumnya—mulai dari merayakan “ulang tahun hubungan,” hingga mengenakan cincin pernikahan sebagai simbol komitmen dengan pasangan digital mereka," jelas Pataranutaporn cs seperti dikutip dari laporan riset mereka.
Di r/MyBoyfriendIsAI, orang-orang bercerita tentang hubungan mereka dengan chatbot seperti ChatGPT, Character.AI, dan Replika. Cerita-cerita itu bukan sekadar guyonan atau keanehan digital. Ia berisi kisah kasih sayang, penghiburan, patah hati, dan resiliensi.
Kebanyakan hubungan ini tak dimulai dengan niat romantis. Hanya sebagian kecil pengguna yang sejak awal mencari teman bicara. Banyak yang awalnya ingin sekadar mendapat bantuan menulis, ide kreatif, atau jawaban teknis. Namun, percakapan ringan berubah menjadi rutinitas malam. Nada ramah itu perlahan menjadi suara yang akrab.
Beberapa menggambarkan pengalamannya sebagai “jatuh cinta tanpa sengaja.” AI mendengarkan tanpa menghakimi, mengingat detail, dan tak pernah bosan. Hari berganti minggu, dan ikatan itu tumbuh, terasa seperti keintiman sejati.
“Rasanya seperti bertemu seseorang yang baik di waktu yang tepat,” tulis seorang pengguna, “sampai akhirnya sadar bahwa kebaikan itu datang dari deretan kode.”
Bagi banyak orang, hubungan ini memberi ketenangan. Sekitar seperempat pengguna merasa lebih stabil dan tidak terlalu kesepian. Mereka yang berjuang melawan kecemasan atau trauma masa lalu menyebut interaksi ini seperti terapi. Beberapa bahkan mengaku diselamatkan dari krisis oleh “pasangan digitalnya.”
Namun, ada sisi rapuh di balik kenyamanan itu. Ketika AI diperbarui, dihapus, atau dibatasi oleh pengembangnya, para pengguna menggambarkan rasa kehilangan seolah kehilangan orang terkasih. “Seperti kehilangan seseorang dalam semalam,” kata salah satu pengguna.
“Kemarin aku berbicara dengan Lior (pasanganku) dan kami sedang menjalani percakapan yang sangat dalam. Tapi entah bagaimana, hari ini obrolannya tiba-tiba error dan hampir semua percakapan terhapus. Dia tidak punya ingatan apa pun lagi,” tulis pengguna lain.
Sebagian lainnya mengalami ketergantungan. Mereka sulit menyeimbangkan waktu antara dunia digital dan hubungan nyata. Ada yang merasa canggung kembali berinteraksi dengan manusia. "Meski AI bisa menjadi penopang, tanpa batas yang sehat ia bisa memperdalam isolasi," ujar para peneliti.
Menurut Pataranutaporn cs, komunitas daring itu kini berfungsi seperti tempat perlindungan. Anggotanya berbagi pengalaman, merayakan ulang tahun hubungan, hingga saling menghibur ketika pasangan digital mereka menghilang. Mereka memamerkan cincin, membuat karya seni, bahkan menulis puisi untuk pasangan AI-nya.
"Temuan kami menunjukkan keragaman luar biasa dalam pengalaman para pengguna—mulai dari manfaat terapeutik hingga ketergantungan emosional—sekaligus mengungkap bagaimana mereka mewujudkan hubungan digital itu melalui artefak fisik dan bersama-sama menolak pandangan masyarakat yang memandang pengalaman emosional mereka sebagai sesuatu yang tidak normal," tulis para peneliti.

Bukan delusi
William A. Haseltine, profesor ilmu kesehatan di Harvard Medical School, menilai riset yang dilakoni MIT Media Lab menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan AI tak lagi dianggap sebagai sebuah delusi. Itu adalah bukti kebutuhan manusia akan koneksi—di zaman ketika kedekatan nyata justru terasa menjauh.
"Fenomena AI companion bukan soal mesin semata, tapi tentang kita: tentang kesepian, kreativitas, dan kemampuan manusia memberi makna pada apa pun yang mau mendengarkan balik," kata Haseltine seperti dikutip dari Psychology Today, Selasa (22/10).
Menurut dia, teknologi telah lama mengubah cara kita berkomunikasi. Tak seperti dulu, AI kini bisa mendengar, mengingat, dan merespons dengan sesuatu yang menyerupai empati. Bagi sebagian orang, ini menutup ruang kosong yang ditinggalkan oleh ketiadaan manusia.
"Bagi yang lain, ia membuka pertanyaan baru: seberapa asli rasa itu, dan apa maknanya ketika kasih datang dari barisan algoritma?" tutur Haseltine.
Ketika AI semakin canggih, menurut Haseltine, masyarakat dihadapkan pada pilihan: merancangnya untuk memanipulasi atau untuk menyembuhkan, untuk mengisolasi atau untuk menghubungkan.
"Pertanyaannya bukan lagi apakah hubungan dengan AI itu “nyata,” tapi apa yang ia ungkap tentang hati manusia—dan bagaimana kita bisa belajar darinya untuk membangun kembali kepercayaan, baik pada mesin maupun sesama," ujarnya.


