Bandul penentuan akhir

Proses penyelesaian sengketa hasil pilpres ini menarik. Meskipun dengan persamaan dominan, ada kondisi psikologis yang berbeda.

Setelah sekian waktu ruang publik riuh dengan geliat politik, kini masa penghujung itu tiba. Sidang sengketa hasil rekapitulasi Pemilihan Presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK) segera mengakhiri pergulatan panjang, tidak saja sejak kampanye politik ditabuh untuk memeriahkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, tetapi jauh hari sebelum itu. Setidaknya, sembilan hakim akan menentukan babak akhir pertarungan.

Gugatan Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, menentukan arah sengketa, langkah yang diambil harus kita apresiasi sebagai bukti bahwa hukum di republik ini masih memiliki tempat untuk dipercaya. Sebaliknya, kesiapan kubu Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin menghadapi gugatan, juga harus didukung.

Secara normatif, proses penyelesaian sengketa hasil pilpres ini menarik. Selain mengulang apa yang terjadi pada Pilpres 2014, juga dengan pola tuntutan yang tidak jauh berbeda, kondisi itu memang menarik karena meskipun dengan persamaan dominan, ada kondisi psikologis yang berbeda, di mana kubu Prabowo-Sandiaga Uno memiliki loyalis sepanjang kampanye yang cukup kuat. Hal itu dapat terbaca dari gerakan-gerakan publik hingga massa yang menghadiri kampanye.

Tetapi, hukum tidak mengenal kondisi psikologis yang demikian. Hukum hanya akan menghasilkan segala sesuatu secara empiris, apa yang tertuang dalam definisi perundang-undangan, maka itulah yang menjadi acuan. Tetap menarik, karena ini menentukan babak akhir dari perseteruan politik dua kubu yang selama ini melelahkan publik (public fatigue).

Keputusan rekonsiliatif