Dalam negara demokrasi yang sehat, kepemimpinan bukan sekadar panggung individual, tetapi tentang pembentukan sistem yang bekerja meskipun pemimpinnya berhalangan.
Jika kita cermati, serangan digital kian hari kian menjadi di negeri ini. Terutama pada mereka yang kritis pada pemimpin populer. Contoh terbaru dialami Ataliya Ridwan Kamil yang dirisak die-harder Gubenur Jabar KDM (Kang Dedi Mulyadi) terkait kelas belajar isi 50 anak. Sebelum itu, serangan siber personal menimpa Trisa Triandesa, neuroscience communicator, juga setelah mengkritisi kebijakan KDM masuk sekolah jam 6 pagi.
Di sisi lain, survei Indikator Politik, akhir Mei lalu, menyebutkan gubernur tersebut memperoleh sematan kepala daerah berkinerja paling memuaskan. Simultan, video bupati/walikota hingga menteri yang marah-membentak saat sidak, viralitas-nya kian mudah ditemukan. Mengapa masyarakat Indonesia, terutama warganet, kian tenggelam patron mencintai pemimpin yang “beraksi”, bukan yang “bekerja?
Di tengah era keterbukaan informasi dan ekspansi media sosial, kita menyaksikan munculnya tipe pemimpin baru yang jauh dari kerangka birokrasi klasik. Mereka bergerak cepat, responsif, suka blusukan, penuh empati—namun sayangnya bekerja secara sporadis, personalistik, bahkan sering kali tampil one man show. Pendekatannya dominan intervensi personal ketimbang pembangunan sistematis. Ia turun tangan ke lapangan, menyelesaikan masalah rakyat satu per satu. Gaya yang sangat menarik secara visual, mudah dikemas menjadi konten, namun umumnya tak sistematis-berkelanjutan. Anehnya, justru gaya inilah yang paling disukai publik digital.
Mengapa gaya ini kian favorit? Jawabannya tidak sesederhana jumlah like, comment, atau share. Dalam negara demokrasi yang sehat, kepemimpinan bukan sekadar panggung individual, tetapi tentang pembentukan sistem yang bekerja meskipun pemimpinnya berhalangan. Ketika pemimpin menjadi pusat segalanya (perencana, pelaksana, bahkan juru bicara utama kebijakan), besar kemungkinan keberlanjutan dan akuntabilitas terancam.
Tanpa struktur, birokrasi itu pelengkap penderita. Tanpa distribusi peran, pelayanan publik rapuh. Yang sama mengkhawatirkan dari itu semua adalah bersandingnya budaya pembungkaman kritik. Media sosial kian tampil sebagai pengadilan digital, yakni area serangan personal makin gencar, alih-alih menjadi digital public sphere untuk sebuah kebijakan publik. Kritik ke kepala daerah viral kerap direspons cacian, bukan argumen. Balairung ruang maya masih dan tetap gagap dialektika karena media sosial justru menciptakan chilling effect kepada yang berbeda pendapat dari mayoritas. Debat sehat terus digantikan labelisasi hingga cancel culture.