Eulogi untuk BPPT

43 tahun kiprah BPPT sebagai kawah candradimuka cendekia perekayasa Indonesia, akan memberikan bukti dalam bentuk sumbangsihnya bagi bangsa.

Tauhid Nur Azhar. Foto wbac.id

Pernah ada masa ketika sebagai seorang anak yang polos, mata kita terbelalak kagum dan bergumam..."wow itu keren sekali..."

Itu tentu saya alami juga dalam perjalanan hidup sekitar empat dasawarsa lalu. Seperti melihat robot Voltus V dan perjalanan teleportasi kuantum di film Star Trek. Tetapi kekaguman saya saat itu terarah pada sosok lembaga litbangjirap yang bernama BPPT. 

Kok bisa? Saya ini anak yang sangat beruntung. Bersekolah di banyak desa di negara bernama Indonesia. Masa SD seingat saya, mengalami lima kali pindah sekolah. Madiun, Bandung, Manado, Kotamobagu, dan pernah terdampar di Den Haag. Semua karena kami sekeluarga senantiasa mengikuti tugas negara yang diemban orang tua. 

Tetapi dahsyat benar dampaknya. Keindahan, kemolekan, keunikan, dan keberagaman Indonesia dan mancanegara yang sempat dirasakan rupanya berkembang menjadi prisma di otak saya yang menguraikan cahaya menjadi spektrum warna yang beraneka, dan juga sebaliknya. Keberagaman yang melahirkan cahaya tunggal yamg merepresentasikan kemurnian. Yah memang kelak saat telah dewasa dan sempat mengembara di Ivy league di Paman Sam sana, serta mencicipi manisnya atmosfera ristek di benua biru Eropa yang membuat candu persis seperti hash brown di dekat stasiun sentral Amsterdam, saya baru menyadari bahwa cahaya meski tampak sederhana telah melahirkan beberapa aksioma yang mengubah dunia. 

Dualisme partikel dan gelombang salah satunya. Elektrodinamika kuantum salah duanya. Bagaimana cahaya dan materi dinikahkan oleh penghulu dari KUA semesta. Max Planck jadi saksinya, lalu Heisenberg dan Schrodinger berbaiat menjadi pengikutnya.