Jangan percaya prediksi (lagi)

Kegaduhan belum berangsur mereda hingga hari ketiga sejak 17 April 2019, bahkan makin masif.

Angka dan statistik mulai dipertanyakan keabsahannya secara moral pada beberapa hari ini, begitu selesai pencoblosan dalam rangka pemilihan umum serentak untuk memilih presiden, anggota legislatif, dan anggota DPD.

Kegaduhan belum berangsur mereda hingga hari ketiga sejak 17 April 2019, bahkan makin masif. Keabsahan metodologis bermoral makin ramai muncul ke permukaan. Mengapa moralitas? Apakah ada itu moralitas dalam metode statistik bertujuan to explain dan to predict atas realitas? 

Bila kita mau lebih jernih, tidak ada argumentasi bahwa metode statistik berbasis akhlak. Bila itu terjadi, maka metode statistik pasti tidak dan bahkan perlu dilengserkan dari legitimasi keilmiahan. Metode ilmiah sudah pasti dan tak diragukan lagi harus bebas keberpihakannya, termasuk maling, rampok, homo plus rombongan LGBT-nyapun, bahkan, ketika ukuran anti Tuhan adalah prediksi yang mengarah pada kebenaran empiris, maka perlu dianggap kebenaran yang diakui kekuatan metodis, proyeksi, hingga kemampuannya menjelaskan realitas kini dan yang akan datang. 

Metode ilmiah yang berorientasi moralitas dianggap melanggar asumsi objektivitas atas realitas dan kuantifikasi ukuran, kecuali direkonstruksi asumsinya. Apabila tidak, metode yang dijalankan akan meruntuhkan asumsi dasar metode riset. Ujungnya, ya tidak ilmiah. Pengukuran dan penggunaan baik sampel maupun populasi, semuanya apabila masuk kepentingan di dalamnya, sudah pasti runtuh pada saat berhadapan dengan asumsi dasar objektivitas.

Moralitas tidak boleh jadi ukuran bahkan kejahatan, bila itu ada di baliknya tidak mayor untuk deteksi validitasnya, karena sekali lagi melanggar objektivitas data yang diungkap nantinya.